Salah Komunikasi di Balik Polemik Pagar Laut Tangerang
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang telah menjadi perdebatan yang telah menghasilkan banyak masalah penting selain menimbulkan resistensi dari nelayan lokal. Permasalahan utama adalah kurangnya transparansi,...
Oleh : Hari Eko Purwanto, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan di perairan Kabupaten Tangerang telah menjadi perdebatan yang telah menghasilkan banyak masalah penting selain menimbulkan resistensi dari nelayan lokal. Permasalahan utama adalah kurangnya transparansi, kurangnya koordinasi antar-lembaga pemerintah, dan gaya komunikasi yang tidak dialogis. Ketidaksepakatan pemerintah dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik terbukti dengan proyek yang bertujuan untuk melindungi ekosistem laut dan wilayah pesisir.
Pihak terdampak langsung dari pagar tersebut adalah nelayan. Mereka khawatir bahwa pagar tersebut membatasi akses mereka ke laut, tempat mereka menggantungkan hidup mereka. Situasi ini menjadi lebih buruk karena tindakan TNI AL yang membongkar pagar tanpa izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Akibatnya, pemerintah tampaknya berjalan sendirian tanpa rencana komunikasi yang komprehensif baik kepada masyarakat maupun antarlembaga.
Kasus ini menunjukkan sisi buruk dari komunikasi publik Indonesia, di mana metode top-down yang tidak relevan masih digunakan untuk pengambilan keputusan. Pelibatan masyarakat dan transparansi, yang seharusnya menjadi dasar kebijakan publik, sering diabaikan. Akibatnya, masyarakat tidak hanya kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, tetapi mereka juga menjadi tidak setuju dengan kebijakan apa pun yang dianggap merugikan mereka.
Kepercayaan bergantung pada minimal transparansi dan resistensi transparansi. Namun, dalam hal pagar laut ini, pemerintah tampaknya tidak memberikan penjelasan yang menyeluruh tentang tujuan, keuntungan, dan efek pembangunan pagar tersebut. Hingga saat ini, masyarakat, terutama nelayan lokal, masih mempertanyakan apakah kebijakan ini dibuat untuk menguntungkan lingkungan atau sekadar untuk memenuhi tujuan tertentu.
Teori Transparansi Komunikasi (Rawlins, 2008) menyatakan bahwa keterbukaan informasi terdiri dari tiga komponen: keterbukaan (openness), akuntabilitas, dan partisipasi. Sayangnya, dalam konteks ini, ketiga komponen ini hampir tidak terlihat. Ketidakjelasan informasi memungkinkan spekulasi, ketidakpercayaan, dan resistensi dari komunitas yang terpengaruh.
Para nelayan merasa bahwa kebutuhan mereka tidak pernah dipikirkan. Proses perencanaan justru mengabaikan kelompok yang seharusnya terlibat sejak awal. Padahal, Teori Partisipasi Komunikasi menyatakan bahwa pelibatan kelompok yang terpengaruh pada tahap awal kebijakan sangat penting untuk membuat solusi yang inklusif dan dapat diterima semua pihak (White, 1994).
Masyarakat akan terus mempertanyakan tujuan kebijakan ini jika tidak ada transparansi. Pemerintah harus memahami bahwa era satu arah komunikasi telah berakhir. Sekarang masyarakat membutuhkan informasi yang akurat, mudah dipahami, dan terorganisir. Ketidakpercayaan hanya akan meningkat jika tuntutan ini tidak dipenuhi.
Koordinasi Lintas Lembaga yang Buruk
Selain masalah transparansi, lemahnya koordinasi antar-lembaga pemerintah adalah masalah yang sangat menonjol. Contoh buruk dari komunikasi horizontal adalah pembongkaran pagar laut oleh TNI AL tanpa melibatkan KKP. Ini menimbulkan kesan bahwa setiap instansi bergerak secara mandiri tanpa tujuan bersama.
Menurut Teori Jaringan Komunikasi (Monge & Contractor, 2003), keberhasilan organisasi sangat bergantung pada struktur komunikasi yang memungkinkan pergerakan informasi yang lancar. Dalam situasi ini, tidak adanya koordinasi yang efektif membuat pemerintah terlihat buruk, dan kebijakan tersebut dipandang lebih buruk oleh masyarakat umum.
Sulit untuk mempercayai niat baik di balik pembangunan pagar laut ini karena masyarakat menganggap pemerintah tidak kompak. Kebijakan ini justru meningkatkan konflik sosial daripada menyelesaikannya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah harus memperbaiki cara mereka bekerja sama antara lembaga untuk menghindari ketidaksesuaian kebijakan di masa depan.
Pola Top-Down yang Usang
Pola ini menunjukkan bahwa pemerintah bertindak sebagai pengambil keputusan tanpa melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, masyarakat merasa diabaikan dan kebijakan yang dibuat tidak memiliki legitimasi sosial.
Teori Komunikasi Dialogis (Freire, 1970) berpendapat bahwa komunikasi yang ideal adalah diskusi dua arah di mana masing-masing pihak berpartisipasi untuk mencapai solusi yang adil dan inklusif. Sayangnya, metode instruktif yang dipilih pemerintah justru memperlebar jarak antara mereka yang membuat kebijakan dan orang-orang yang terdampak.
Setiap kebijakan publik seharusnya memulai dengan melibatkan masyarakat. Untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap kebijakan yang diterapkan, konsultasi publik, forum diskusi, atau diskusi dengan kelompok terdampak adalah alat penting. Kebijakan hanya akan menjadi alat pemaksaan yang mudah ditolak jika tidak ada diskusi.
Kurangnya Pemanfaatan Teknologi Digital
Di era modern, pemerintah memiliki peluang besar untuk menggunakan teknologi sebagai alat untuk berkomunikasi dengan publik. Sayangnya, pagar laut tampaknya tidak memanfaatkan peluang ini dengan baik. Meskipun demikian, platform seperti media sosial, situs web, dan aplikasi dapat berfungsi sebagai alat yang berguna untuk mengajar dan menyebarkan informasi kepada masyarakat.
Menurut Teori Agenda Setting (McCombs & Shaw, 1972), media memainkan peran yang signifikan dalam menentukan persepsi publik tentang suatu masalah. Pemerintah dapat menjelaskan tujuan dan keuntungan kebijakan dengan cara yang menarik, sederhana, dan mudah dipahami dengan memanfaatkan teknologi digital secara strategis. Selain itu, penggunaan teknologi dapat memberi masyarakat kesempatan untuk berbicara dan terlibat dalam diskusi.
Pemerintah harus mengevaluasi strategi komunikasinya untuk mencegah konflik serupa di masa depan. Transparansi, koordinasi, dan partisipasi masyarakat harus menjadi prioritas utama. Beberapa tindakan strategis yang dapat diambil termasuk:
Meningkatkan Transparansi Informasi: Pemerintah harus menjelaskan tujuan, keuntungan, dan konsekuensi setiap kebijakan. Hal ini akan membangun kepercayaan masyarakat dan mencegah spekulasi negatif.
Sejak awal proses pengambilan keputusan, masyarakat harus terlibat, terutama mereka yang terkena dampak langsung. Konsultasi publik, diskusi, dan forum dapat membantu dalam pembuatan kebijakan yang inklusif.
Untuk meningkatkan koordinasi antar lembaga pemerintah, perlu membangun mekanisme kerja sama yang lebih kuat. Ini juga penting untuk menghindari konflik internal yang dapat membahayakan reputasi mereka di mata publik.
Memanfaatkan Teknologi Digital Secara Maksimal Teknologi digital dapat menjadi alat yang sangat baik untuk berkomunikasi dan memfasilitasi percakapan dengan masyarakat.
Pemerintah harus memiliki strategi komunikasi krisis yang cepat, konsisten, dan empati untuk menangani masalah.
Penutup
Kasus pagar laut Tangerang memberikan pelajaran penting tentang bagaimana komunikasi berfungsi dalam menangani konflik sosial-ekologis. Transparansi, partisipasi, dan koordinasi bukan hanya komponen komunikasi teknis; mereka adalah cara untuk menghormati hak-hak masyarakat.
Pendekatan yang lebih inklusif membantu pemerintah membuat kebijakan yang adil dan berkelanjutan serta menumbuhkan kepercayaan, yang sangat penting untuk menjalankan pemerintahan. Pengambil kebijakan dan rakyatnya terhubung melalui komunikasi, yang lebih dari sekadar alat.