Strategi diplomasi ekonomi Indonesia di era Trump

Kembalinya Donald Trump sebagai Presiden AS pada November 2024 membuat was-was perekonomian global, termasuk Indonesia. ...

Strategi diplomasi ekonomi Indonesia di era Trump
Ketergantungan Indonesia pada pasar ekspor Amerika Serikat jadi riskan

Jakarta (ANTARA) - Kembalinya Donald Trump sebagai Presiden AS pada November 2024 membuat was-was perekonomian global, termasuk Indonesia. Kebijakan America First yang diusungnya mengguncang hubungan perdagangan internasional.

Salah satu isu yang cukup kontroversial ialah wacana untuk menaikkan tarif impor barang hingga 10-20 persen, yang berisiko mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS.

Kenaikan tarif ini akan berdampak pada volume ekspor Indonesia, terlebih di sektor tekstil. Meski kenaikan tarif terlihat kecil, pengaruhnya terasa, mengingat Indonesia punya pangsa pasar yang kuat di industri tersebut.

Kebijakan proteksionisme Trump juga mengancam fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang selama ini dinikmati Indonesia. GSP adalah pembebasan tarif bea masuk dari AS untuk negara berkembang, dan kehilangan fasilitas ini menyulitkan Indonesia bersaing di pasar AS.

Menanggapi situasi ini, pemerintah Indonesia, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, berencana untuk mendorong pengajuan kembali fasilitas GSP, mengingat posisi Indonesia sebagai mitra strategis dan keterlibatan dalam Indo-Pacific Economic Framework (IPEF).

Sekalipun, persoalan tetap ada lantaran kebijakan Trump tersebut juga bisa memantik labilnya harga komoditas global, yang risikonya berefek pada Indonesia, sebagai eksportir utama batu bara, minyak kelapa sawit, dan karet.

Perang dagang AS-China

Perang dagang antara AS dan China sejak 2018 berimbas pada kedua negara tersebut, bahkan memberi efek bagi Indonesia. Sebagai negara berkembang dengan ekonomi terbuka, Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang dari konflik ini.

Satu peluang yang muncul yakni potensi pengalihan investasi dan rantai pasokan dari China. Ketegangan antara AS dan China mendorong banyak perusahaan multinasional untuk memindah fasilitas produksinya ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Terbukti, setidaknya 15 perusahaan tekstil asing yang tertarik untuk pindah ke Indonesia.

Indonesia mesti bertindak untuk memperbaiki iklim investasi agar bisa bersaing dengan negara seperti Vietnam dalam menarik investasi asing. Fokus pemerintah pada peningkatan infrastruktur, penyederhanaan birokrasi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Setidaknya, di balik peluang itu, Indonesia menghadapi risiko sebagai target pasar dumping produk dari China. Dengan pembatasan akses ke pasar AS, produsen China akan mencari pasar lain, dan Indonesia, dengan populasi besar dan ekonomi yang berkembang, adalah sasaran empuk.

Data Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) menjabarkan bahwa antara 2023 hingga awal 2024, setidaknya 10 kasus dumping dalam penyelidikan, mayoritas asalnya dari China. Produk seperti baja, filamen, nilon plastik, dan ubin keramik terdeteksi melakukan praktik dumping.

Praktik ini merugikan industri manufaktur dalam negeri. Oleh sebab itu, pemerintah mesti memperkuat kebijakan anti-Dumping dan meningkatkan daya saing industri lokal untuk menghadapi tantangan tersebut.

Perang dagang antara AS dan China berakibat pada harga komoditas global, yang imbasnya pada ekspor Indonesia. Sebagai pengekspor utama minyak sawit, karet, dan batu bara, Indonesia rentan pada fluktuasi harga.

Tarif AS pada China mengurangi ekspor Indonesia melalui China sebesar 330 juta dolar AS, apalagi tarif China pada AS menurunkan ekspor Indonesia lewat AS sebesar 40 juta dolar AS. Kebijakan Trump ini memicu ketidakstabilan harga komoditas global, yang berdampak bagi Indonesia.

Dalam menghadapi persoalan ini, Indonesia mesti melakukan diversifikasi pasar ekspor dan meningkatkan nilai tambah produk komoditas. Selain itu, memperkuat diplomasi ekonomi untuk mempertahankan akses pasar di tengah ketidakpastian global menjadi kebijakan yang harus diambil.

Sektor Indonesia

Industri TPT Indonesia, yang menjadi tulang punggung ekspor non-migas, kini tertekan. Meski volume ekspor produk tekstil meningkat 7,34 persen pada triwulan I 2024, kendala tetap ada. Salah satunya yakni persaingan dengan produk impor murah dan pakaian bekas.

Untuk mendukung pertumbuhan industri domestik, pencegahan konsumsi pakaian bekas dan pengawasan pada barang impor mesti ditingkatkan.

Sementara itu, industri alas kaki juga berfluktuasi. Meski data mengungkap peningkatan ekspor sebesar 12,56 persen pada periode yang sama, sektor ini menghadapi persoalan. Daya saing produk alas kaki Indonesia pada China berfluktuasi, dan persaingan dengan negara-negara ASEAN semakin ketat, meski nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) menjelaskan potensi yang tinggi.

Sektor elektronik Indonesia kini tertekan oleh fluktuasi permintaan global dan persaingan dari negara-negara dengan biaya produksi lebih rendah. Meski data untuk 2024 belum tersedia, tren historis menunjuk kerentanan.

Industri karet, sebagai salah satu pengekspor utama, juga menghadapi persoalan. Fluktuasi harga karet global dan persaingan dari Thailand dan Vietnam mempengaruhi kinerja sektor ini.

Sementara itu, minyak sawit, komoditas ekspor utama Indonesia, terhambat oleh isu keberlanjutan dan kampanye negatif di pasar internasional. Semua faktor ini menandakan bahwa sektor ini butuh beradaptasi untuk tetap kompetitif di pasar global.

Untuk mengatasi kerentanan sektor tersebut, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan strategis, termasuk kebijakan trade remedies seperti bea masuk anti-dumping dan bea masuk tindak pengamanan sementara untuk melindungi industri domestik dari praktik perdagangan tak sehat.

Selain itu, pemerintah mendorong diversifikasi pasar ekspor. Setidaknya, pertumbuhan ekspor non-migas lebih didorong oleh produk yang sudah ada, bukan oleh diversifikasi produk baru. Hal ini menganjurkan inovasi dan pengembangan produk ekspor baru yang kompetitif agar Indonesia bisa bersaing di pasar global.

Nilai Tukar

Ketidakpastian global terus menekan nilai tukar rupiah. Hingga 23 Januari 2025, rupiah melemah 1,14% di tengah penguatan indeks dolar AS, cerminan investor pada aset keuangan AS di tengah meningkatnya ketegangan politik global.

Varian faktor yang berkontribusi pada ketidakpastian ini termasuk kebijakan moneter AS yang ketat, ketegangan geopolitik yang belum mereda -- seperti konflik di Timur Tengah dan Laut China Selatan — serta perubahan kepemimpinan politik di banyak negara, termasuk transisi baru di Indonesia dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto.

Bank Indonesia (BI) berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, meski dalam tekanan, melalui intervensi di pasar valuta asing dan koordinasi dengan pemerintah serta pelaku pasar. Sebaliknya, pelemahan rupiah membawa konsekuensi bagi perekonomian domestik, terlebih biaya impor dan inflasi.

Rupiah yang melemah langsung meningkatkan biaya impor barang dan jasa. Dengan total impor mencapai 18,44 miliar dolar AS pada Februari 2024, sebagian besar terdiri dari barang konsumsi dan bahan baku industri. Sekitar 80 persen dari total impor yakni bahan baku dan barang modal, yang menyebabkan biaya non-produksi industri manufaktur melonjak.

Kenaikan biaya impor ini potensinya menuai inflasi domestik. Harga barang impor yang tinggi sebab pelemahan rupiah meningkatkan tekanan inflasi, berdampak pada barang kebutuhan pokok seperti beras dan gula, yang bergantung pada impor.

Menghadapi problem akibat pelemahan rupiah, pemerintah dan Bank Indonesia perlu mengambil kebijakan strategis untuk mengurangi dampak negatifnya.

Beberapa usaha yang dilakukan meliputi penguatan kebijakan stabilisasi nilai tukar oleh Bank Indonesia, penyiapan revisi PP 36 Tahun 2023 yang mengatur kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam, serta penguatan insentif pajak bagi industri domestik untuk mendorong produksi dan investasi.

Adaptasi Indonesia

Ketergantungan Indonesia pada pasar ekspor Amerika Serikat jadi riskan, terlebih dengan rencana kebijakan proteksionisme oleh Presiden Donald Trump. Untuk mengurangi ketergantungan ini, Indonesia mesti memperluas pasar ekspornya. Pemerintah menargetkan kenaikan ekspor sebesar 7,1 persen pada tahun 2025 dengan strategi ekspansi pasar dan membuka akses ke pasar internasional.

Langkah yang diambil yakni memperkuat kerja sama dengan negara-negara non-tradisional misalnya Afrika dan Timur Tengah. Pertumbuhan ekonomi yang stabil di Afrika dan meningkatnya permintaan produk halal di Timur Tengah menciptakan peluang bagi produk Indonesia, utamanya di sektor makanan dan minuman, tekstil, serta elektronik.

Indonesia memanfaatkan secara optimal kerangka kerja sama ekonomi regional, terlebih lewat ASEAN dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). RCEP, sebagai perjanjian perdagangan terbesar di dunia, menawarkan peluang untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan memperluas akses pasar. Tentunya bisa mendorong pengembangan industri dalam negeri melalui peningkatan investasi dari negara-negara RCEP.

Agar bersaing di pasar global, industri Indonesia perlu meningkatkan daya saingnya. Strategi pemerintah yakni melalui standardisasi industri, yang mendukung peningkatan daya saing industri prioritas nasional. Hal ini sejalan dengan Astacita Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.

Meski upaya diversifikasi pasar ekspor dilakukan, Amerika Serikat tetap menjadi mitra dagang. Oleh sebab itu, diplomasi ekonomi yang kuat untuk mempertahankan akses pasar AS, memang perlu.

Pemerintah kudu menguatkan negosiasi perdagangan, termasuk memperbarui fasilitas Generalized System of Preferences (GSP), agar komoditas ekspor Indonesia tetap mendapat akses ke pasar AS tanpa hambatan.

Menghadapi tantangan ekonomi global di tahun 2025, Indonesia menerapkan strategi adaptasi yang masif. Diversifikasi pasar ekspor, penguatan kerja sama regional, peningkatan daya saing industri, dan diplomasi ekonomi menjadi akses untuk bertahan dan tumbuh di tengah ketidakpastian.

Dengan konsisten dalam menjalankan strategi tersebut, Indonesia bisa memanfaatkan peluang dan mengurangi risiko dari gejolak ekonomi global. Sejatinya membantu mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1-5,5 persen di tahun 2025, sesuai proyeksi dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025.

*) Heru Wahyudi adalah Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang

Copyright © ANTARA 2025