Strategi Jaga Pasokan Beras: Jokowi Pilih Impor dan Prabowo Suntik Dana ke Bulog

Untuk mengatasi defisit beras yang diperparah oleh El Niño, pemerintah Jokowi memperkuat impor dari beberapa negara, memastikan stok beras dan keberlangsungan bansos pada 2024.

Strategi Jaga Pasokan Beras: Jokowi Pilih Impor dan Prabowo Suntik Dana ke Bulog

Pemerintah Joko Widodo () menghadapi tantangan serius terkait defisit beras pada 2024 akibat cuaca ekstrem El Niño, pergeseran masa tanam, dan penurunan produksi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras 2024 turun 2,44% secara tahunan menjadi 30,34 juta ton, sementara konsumsi meningkat 1,01% menjadi 30,92 juta ton. Dengan demikian, neraca produksi diperkirakan defisit hingga 590.000 ton, jauh lebih besar dibandingkan defisit 480.000 ton pada 2023.

Guna mengatasi potensi kekurangan ini, Jokowi gencar melakukan impor beras untuk menjaga menjaga harga beras di tingkat konsumen dan memastikan kelanjutan program bantuan sosial (bansos) pada 2024.

Pemerintah mengimpor beras dari sejumlah negara, mulai dari Vietnam, Thailand, Pakistan, Kamboja, Myanmar dan lainnya. "Karena penduduk kita 280 juta. Itu tidak mudah (memenuhi kebutuhan beras)," kata Jokowi, Senin (13/5/2024).

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menjelaskan bahwa opsi penambahan impor bertujuan memperkuat Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk awal 2025, terutama karena produksi domestik umumnya rendah pada periode Desember-Februari.

"Kalau BPS memproyeksikan produksi dalam negeri tetap kurang setelah segala upaya pemerintah, kita harus memiliki cadangan beras yang memadai," kata Arief di kantor Kementerian Kehutanan, Selasa (29/10/2024).

Data Bapanas menunjukkan hingga 25 September 2024, total beras impor yang tiba di Indonesia mencapai 2,93 juta ton. Sementara volume impor yang dijadwalkan pada September-Desember 2024 mencapai 1,55 juta ton. Dengan demikian, total impor beras tahun ini diperkirakan mencapai 4,49 juta ton, meningkat hampir 25% dari kuota awal 3,6 juta ton.

Perum Bulog melaporkan bahwa hingga 18 Oktober 2024, stok beras di gudang mencapai 1,48 juta ton. Dari jumlah tersebut, stok CBP sebesar 1,21 juta ton dan stok beras komersial Bulog sebanyak 268.812 ton.

Bulog Memperkirakan stok pada akhir 2024 hanya mencapai 1,5 juta ton akibat penyaluran bantuan pangan. Oleh karena itu, BUMN ini sempat berharap pemerintah mempercepat penugasan impor beras 2025.

Prabowo Setop Impor Beras, Fokus Swasembada Pangan

Memasuki akhir 2024, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengadopsi kebijakan baru dengan menghentikan impor beras dan meningkatkan produksi domestik sepanjang 2025. Langkah ini didasarkan pada cadangan beras yang mencapai hampir 2 juta ton.

"Saya sangat yakin bahwa pada 2025 kita tidak perlu lagi mengimpor beras," ujar Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Merdeka, Senin (2/12).

Pada kesempatan berbeda, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkapkan bahwa produksi beras domestik diproyeksikan surplus 4 juta ton pada April 2025. “Sebanyak 4 juta ton ini harus diserap Bulog,” katanya seusai pertemuan dengan presiden, Selasa (4/2).

Untuk menyerap surplus tersebut, pemerintah menyetujui suntikan anggaran Rp 16,6 triliun kepada Bulog. Selain itu, harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dinaikkan Rp 500 per kg menjadi Rp 6.500 per kg guna menjaga kesejahteraan petani.

“Sebanyak 70% provinsi di Indonesia masih menjual gabah di bawah HPP karena mulai panen,” ujar Amran. Pemerintah juga mengalokasikan Rp 39 triliun untuk menyerap 3 juta ton beras lokal selama Februari-April 2025.

Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menegaskan bahwa dana untuk menyerap beras lokal sudah tersedia. “Tidak ada alasan Bulog tidak membeli dengan harga Rp 6.500 per kg,” katanya di Jakarta, Jumat (31/1).

Direktur Utama Bulog Wahyu Suparyono mengonfirmasi akan menerima tambahan anggaran Rp 16,6 triliun, meski belum bisa memastikan waktu pencairannya.

BPS mencatat potensi produksi beras Januari-Maret 2025 meningkat 52,32% menjadi 8,67 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,69 juta ton.

Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan bahwa jumlah peningkatan produksi sejalan bertambahnya potensi luas panen. Pada Januari-Maret 2025, luas panen diperkirakan 2,83 juta hektare (ha), meningkat 52,08% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya 1,86 juta ha.

"Sebaran potensi panen padi terbesar berada di Provinsi Pulau Jawa, serta di beberapa wilayah Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara," kata Amalia di Jakarta, Senin (3/2).

Tahun 2024, produksi beras turun menjadi 30,62 juta ton akibat El-Nino berkepanjangan. Namun, proyeksi produksi pada Januari-Maret 2025 mencapai 8,59 juta ton, meningkat 50,97% dibanding tahun sebelumnya.

Dibayangi Penurunan Luas Lahan dan Serangan Hama

Guru Besar IPB University, Dwi Andreas Santosa, menyebut produksi beras tahun ini tetap berpotensi lebih tinggi dibanding 2024, mengingat volume produksi tahun lalu merupakan yang terendah dalam 20 tahun terakhir, yakni 30,37 juta ton.

"Kondisi iklim dan ketersediaan pupuk tahun ini serupa dengan 2022. Pada tahun itu, La Nina lemah terjadi di dalam negeri dan membuat produksi beras menyentuh rekor sejak 2019 mencapai 31,54 juta ton," ujarnya.

BPS mencatat luas tanam pada Januari-Maret 2022 mencapai lebih dari 3 juta hektare, namun menyusut 5,5% menjadi 2,83 juta hektare pada kuartal pertama tahun ini.

Andreas menjelaskan bahwa penurunan luas panen menjadi faktor utama penyusutan produksi beras, selain pergeseran musim tanam yang menyebabkan puncak panen bergeser ke April 2025.

Selain itu, produksi beras juga dibayangi oleh serangan hama yang mulai terdeteksi di beberapa daerah. "Pemerintah perlu mencermati hal ini untuk mencegah dampak lebih lanjut terhadap produksi," kata Andreas.

Meski demikian, Andreas optimistis kebutuhan beras nasional dapat terpenuhi dari produksi lokal. "Stok awal tahun 2025 mencapai 8 juta ton, sehingga impor beras sebenarnya tidak diperlukan. Stock-use ratio kita pun mencapai 24,3%, melampaui batas aman 20%," ujarnya.

Stock-use ratio adalah perbandingan antara pasokan sebuah komoditas dengan jumlah konsumsi. Stock-use ratio sebesar 24,3% menunjukkan stok beras nasional lebih tinggi dari tingkat konsumsi dan berpotensi menekan harga beras di dalam negeri

Dari sisi harga, Bapanas mencatat bahwa 10 dari 17 provinsi produsen beras memiliki Harga Pokok Pembelian (HPP) Gabah Kering Panen (GKP) di bawah Rp 6.500 per kg hingga akhir Januari 2025. Harga GKP terendah ditemukan di Lampung dan Kalimantan Barat, masing-masing Rp 5.500 per kg.

Sementara tiga provinsi mencatat harga GKP di atas Rp 7.000 per kg, yakni Sulawesi Barat (Rp 7.100 per kg), Nusa Tenggara Timur (Rp 7.200 per kg), dan Sumatra Barat (Rp 7.261 per kg). Secara rata-rata, harga GKP saat ini Rp 6.505 per kg, turun 3,62% dibanding awal 2024.

Ketua Umum Perpadi Sutarto Alimoeso menyoroti peningkatan biaya sewa lahan yang makin memberatkan petani. "Banyak petani yang tidak sanggup membayar sewa, sehingga sawah terlantar dan tidak tergarap," katanya.

BPS mencatat, pada 2023, sebanyak 57,56% petani merupakan petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 0,5 hektare, meningkat dari 44,95% pada 2013.

Syarat Agar RI Tak Impor Beras

Perpadi memprediksi pemerintah bisa menghentikan impor beras mulai 2025, asalkan sejumlah syarat dipenuhi. Sutarto Alimoeso menegaskan pentingnya ketersediaan benih, perbaikan irigasi, pengadaan mesin pertanian, dan kelancaran distribusi pupuk.

"Kalau itu bisa dilakukan, termasuk pengamanan harga petani dan konsumen, tahun depan kita bisa stop impor," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (25/10/2024).

Pada 2024 pemerintah mengalokasikan impor 3,6 juta ton beras, dengan realisasi 2,4 juta ton hingga September 2024. Meski demikian, Sutarto menilai penghentian impor lebih realistis pada 2026.

"Produktivitas beras lokal saat ini 5,3 ton per hektare, tapi harus meningkat minimal 6,5 ton agar impor bisa dihentikan," ujarnya.

Ia juga menekankan perlunya peningkatan Indeks Pertanaman (IP) menjadi lima kali dalam dua tahun dan ekstensifikasi lahan sawah. "Jika ekstensifikasi dilakukan dengan benar dan produktivitas meningkat, ketahanan pangan bisa terjamin tanpa impor," katanya.

Reporter: Andi M. Arief