Transformasi penegakan hukum kekerasan seksual di Buru Selatan

Ketika Polres Buru Selatan belum berdiri, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan lebih sering diselesaikan melalui ...

Transformasi penegakan hukum kekerasan seksual di Buru Selatan
Kita akan terus berjuang untuk menurunkan angka kasus tersebut ke nol

Ambon (ANTARA) - Ketika Polres Buru Selatan belum berdiri, kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan lebih sering diselesaikan melalui pendekatan restorative justice atau penyelesaian secara kekeluargaan.

Dalam praktiknya, penyelesaian ini sering kali mengabaikan hak-hak korban. Tentunya pendekatan semacam ini bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.

Dalam sistem hukum di Indonesia, kejahatan terhadap anak dan perempuan dikategorikan sebagai krisis kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Oleh karena itu, kasus-kasus ini tidak boleh diselesaikan hanya melalui mediasi atau kesepakatan antar-keluarga.

Sebagai daerah yang masih dalam tahap perkembangan sumber daya manusia, masyarakat Buru Selatan sempat menganggap kasus kekerasan seksual sebagai hal “biasa”.

Banyak yang berasumsi bahwa jika terjadi pelanggaran, akan ada jalan damai di antara pihak keluarga. Akibatnya, banyak pelaku yang tidak mendapatkan hukuman setimpal, dan korban tidak mendapat keadilan.

Namun, sejak Polres Buru Selatan diresmikan pada 29 Agustus 2022, paradigma ini perlahan mulai berubah. Polres melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tingginya angka kasus kekerasan seksual di daerah itu.

Dalam kurun waktu Januari hingga Oktober 2022, ada 27 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Bursel. Pelaku dari kejahatan tersebut rata-rata adalah orang dekat hingga kepala sekolah.

Angka ini mencerminkan kondisi yang memprihatinkan, bukan hanya bagi korban secara individu tetapi juga bagi pembangunan daerah secara keseluruhan.

Selain berdampak pada korban, tingginya angka kekerasan seksual juga menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi di Buru Selatan. Investor dan pendatang yang ingin berkontribusi dalam pembangunan daerah merasa khawatir dengan kondisi keamanan di wilayah itu.

Menyadari hal tersebut, Polres Buru Selatan dengan segala keterbatasannya menjadikan penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sebagai prioritas utama.

Dengan jumlah personel yang terbatas, sebanyak 321 anggota, dan minimnya sarana prasarana, mereka tetap berkomitmen untuk menegakkan hukum dengan tegas dan tanpa pandang bulu.

“Kita menghargai proses perdamaian adat. Namun proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual kepada anak dan perempuan harus tetap berjalan," kata Kapolres Buru Selatan AKBP M Agung Gumilar.

Tegas tanpa pandang bulu

Salah satu langkah awal yang dilakukan oleh Polres Buru Selatan adalah menggandeng tokoh agama, tokoh adat, dan pemuka masyarakat untuk memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat.

Kapolres Buru Selatan AKBP M Agung Gumilar. (ANTARA/Winda Herman)

Sosialisasi ini bertujuan untuk mengubah pola pikir bahwa kekerasan seksual bukanlah perkara yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan, melainkan harus diproses secara hukum.

Selain itu, Polres juga menerapkan pendekatan hukum yang lebih tegas. Kini, siapa pun pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan, tanpa memandang latar belakangnya, akan diproses secara hukum. Tidak ada lagi negosiasi atau kesepakatan di luar jalur peradilan.

Dampak dari kebijakan itu cukup signifikan. Pada 2023, angka kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan turun menjadi 15. Di 2024, pada periode Januari hingga Desember kasus serupa sebanyak 21. Dari jumlah itu, 12 di antaranya sudah ke tahap penyelesaian tindak pidana.

“Kita akan terus berjuang untuk menurunkan angka kasus tersebut ke nol. Meskipun banyak kendala, kita mampu melewatinya,” Agung Gumilar.

Kendala di Lapangan

Meskipun sudah ada penegakan hukum yang lebih tegas, masih ada beberapa kendala yang dihadapi dalam proses penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual. Salah satunya adalah minimnya fasilitas pendukung bagi korban.

Hingga kini, di Buru Selatan belum tersedia rumah aman atau pusat trauma healing bagi korban kekerasan seksual. Akibatnya, banyak korban yang tidak mendapatkan pendampingan psikologis yang memadai.

Selain itu, belum ada kerja sama antara kepolisian dengan psikolog atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pendampingan korban.

Dalam banyak kasus, korban hanya didampingi oleh pihak kepolisian dan Bhabinkamtibmas, yang tentu memiliki keterbatasan dalam memberikan dukungan psikososial.

“Kita masih terus melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah serta pemangku kepentingan lainnya, agar dapat mendukung fasilitas demi bagaimana hak-hak korban bisa kembali pulih 100 persen,” kata Gumilar.

Peran Hukum Adat

Di tengah perubahan yang terjadi di Buru Selatan dalam penanganan kekerasan seksual, hukum adat masih memiliki tempat di hati masyarakat. Sebagai pedoman yang diwariskan turun-temurun, hukum adat selama ini menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial, termasuk kasus perselingkuhan hingga kekerasan seksual.

Hukum adat di Buru Selatan mengenal sistem sanksi sosial yang cukup keras bagi pelaku kekerasan seksual. Jika seseorang terbukti melakukan tindakan asusila atau kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka ia bisa dikenai sanksi adat, seperti, pengucilan dari komunitas – pelaku dan keluarganya bisa dijauhi oleh masyarakat, sehingga kehilangan hak-hak sosialnya.

Untuk kasus kekerasan seksual, hukum adat memiliki mekanisme yang lebih kompleks. Pelaku biasanya dikenai denda dalam bentuk barang atau harta. Jika masih dalam tahap dugaan atau belum ada bukti kuat, maka dilakukan sumpah adat, dengan cara membakar besi kemudian dipegang para pelaku yang dicurigai untuk mengetahui kebenaran.

Sumpah adat menjadi cara tradisional untuk mengungkap kebenaran. Dalam praktiknya, seorang tersangka dihadapkan pada ritual adat yang diyakini dapat memaksa seseorang untuk mengakui perbuatannya jika memang bersalah. Tak jarang, setelah menjalani sumpah adat, seseorang akhirnya mengakui perbuatannya secara sukarela.

Ada satu praktik dalam hukum adat yang hingga kini masih menuai perdebatan, yaitu tukar ganti anak. Dalam beberapa kasus, jika pelaku terbukti bersalah, keluarganya dapat menyerahkan anak perempuannya sebagai ganti bagi korban.

Jika pelaku sudah menikah dan memiliki anak perempuan, maka anak tersebut diberikan kepada keluarga korban sebagai bentuk pertanggungjawaban. Jika keluarga korban menolak, maka mereka dapat meminta tebusan dalam bentuk harta atau uang sebagai ganti.

Namun, praktik ini semakin jarang dilakukan. Banyak keluarga korban yang tidak setuju dan akhirnya meminta agar kasus diselesaikan melalui jalur hukum negara.

"Kalau misalkan keluarga korban mau hukum pemerintah yang menangani, saya tetap sepakat, karena ini menyangkut masa depan anak-anak kita, terutama generasi yang masih di bawah usia,” kata tokoh adat Rehensap Waesama Jafar Wael.

Tokoh adat hendak melakukan upacara adat berkaitan sanksi adat kasus perselingkuhan di Desa Waesama, Buru Selatan, Maluku. (ANTARA/Winda Herman)

Kesadaran ini muncul seiring dengan pemahaman bahwa kekerasan seksual bukan sekadar persoalan individu, tetapi menyangkut masa depan korban. Jika dulu kasus sering kali berakhir di meja perundingan adat, kini semakin banyak masyarakat yang berani melapor ke kepolisian demi mendapatkan keadilan yang sesungguhnya.

Tetapi, di beberapa kasus, hukum adat masih tetap dipraktikkan. Misalnya, jika ada korban masih di bawah umur, keluarga pelaku bisa membayar sejumlah uang kepada keluarga korban hingga korban cukup umur untuk dinikahkan dengan pelaku. Praktik ini masih terjadi, meskipun mulai berkurang seiring dengan kesadaran hukum yang meningkat.

Meskipun hukum adat memiliki peran dalam menjaga norma sosial, kepolisian tetap menekankan bahwa penegakan hukum formal harus menjadi prioritas. Sanksi adat hanya bisa menjadi pelengkap, tetapi tidak boleh menggantikan proses hukum yang berlaku.

"Kami sebagai tokoh adat, masyarakat, dan agama, harus bersama-sama menaruh perhatian kepada generasi kita ini," kata tokoh adat itu.

Perubahan Pola Pikir

Salah satu perubahan yang paling terasa sejak Polres Buru Selatan berdiri adalah meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual.

Jika sebelumnya korban dan keluarga cenderung diam karena takut intimidasi atau tekanan sosial, kini mereka lebih berani untuk melapor ke pihak berwenang. Bahkan, dalam beberapa kasus, meskipun korban tidak melapor, kepolisian tetap mengambil tindakan berdasarkan bukti yang ditemukan di lapangan.

Selain itu, kesadaran terhadap modus-modus kejahatan seksual juga semakin meningkat. Banyak kasus pencabulan yang terjadi dengan cara bujuk rayu atau pemaksaan, dan masyarakat kini lebih waspada terhadap ancaman tersebut.

Meskipun angka kekerasan terhadap anak dan perempuan di Buru Selatan telah turun, perjuangan masih jauh dari selesai.

Polres Buru Selatan terus berupaya menekan angka kasus hingga titik nol. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengusulkan pendirian rumah aman sejak 2022, yang hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah daerah.

Pembangunan rumah aman dan layanan trauma healing adalah langkah yang mendesak. Tanpa fasilitas ini, banyak korban yang tetap berada dalam situasi yang tidak mendukung pemulihan mereka.

Selain itu, perlu ada kerja sama yang lebih kuat dengan pihak-pihak terkait, termasuk psikolog, LSM, dan lembaga agama, untuk memastikan bahwa korban mendapatkan pemulihan yang maksimal.

Perubahan pola pikir masyarakat juga harus terus dijaga. Polres, tokoh adat, dan pemuka agama harus tetap aktif dalam memberikan edukasi hukum, sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa kekerasan seksual adalah hal yang bisa didamaikan.

Perjalanan panjang Polres Buru Selatan dalam menangani kasus kekerasan seksual adalah bukti bahwa ketegasan hukum bisa mengubah kebiasaan masyarakat. Kini, korban berani melapor, pelaku dihukum sesuai aturan, dan masyarakat mulai sadar bahwa kekerasan seksual bukan sekadar urusan keluarga, tetapi kejahatan yang harus ditindak tegas.

Namun, perjuangan ini belum selesai. Diperlukan dukungan dari berbagai pihak agar penanganan kasus kekerasan seksual semakin efektif dan hak-hak korban dapat benar-benar dipulihkan.

Dengan komitmen bersama, Buru Selatan dapat menjadi daerah yang lebih aman bagi perempuan dan anak-anak, di mana keadilan bukan hanya janji, tetapi benar-benar ditegakkan. Bahwa keadilan bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga memastikan bahwa korban mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025