Blunder Kebijakan Elpiji 3 Kg Dinilai Bikin Sulit Rakyat Miskin

Kebijakan pemerintah yang melarang pengecer menjual LPG 3 kg telah menyulitkan masyarakat miskin.

Blunder Kebijakan Elpiji 3 Kg Dinilai Bikin Sulit Rakyat Miskin

Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia untuk mengaktifkan kembali pengecer untuk menjual elpiji atau LPG 3 kilogram (kg). 

 

Langkah ini untuk merespon polemik pembelian yang hanya boleh dilakukan di agen resmi Pertamina. Aturan baru tersebut sempat memicu antrean panjang hingga kelangkaan kemarin. 

Peneliti The PRAKARSA Bintang Aulia Lutfi berpendapat kebijakan baru pemerintah menimbulkan banyak masalah. "Semakin menyulitkan masyarakat miskin," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (4/2).

Pemerintah, menurut dia, sebaiknya mengatur ulang sistem distribusi gas melon bersubsidi tersebut. Sebab, LPG 3 kg seharusnya menjadi penopang aktivitas harian masyarakat menengah bawah. 

“Alih-alih mempersempit saluran distribusi, pemerintah perlu memperkuat pengawasan harga di tingkat pengecer. LPG 3 kg adalah hak masyarakat, bukan komoditas yang boleh dipermainkan oleh ketidakefektifan sistem,” ujar Bintang.

Masalah utamanya subsidi elpiji tidak tepat sasaran, ia mengatakan, bukan pada keberadaan pengecer, melainkan akibat lemahnya pengawasan harga di tingkat ritel. Karena itu, pemerintah perlu memperkuat sistem pemantauan dan sanksi tegas bagi pelaku markup, bukan menghukum konsumen dengan membatasi akses.  

“Pembatasan penjualan LPG 3 kg subsidi hanya melalui agen resmi untuk mencegah markup harga oleh pengecer perlu dikaji ulang,” kata Bintang.

Memunculkan Pasar Gelap

Bintang juga menyoroti, pembatasan distribusi justru akan memunculkan pasar gelap dan berdampak pada masyarakat rentan. Padahal, LPG termasuk barang primer yang inelastic. Artinya, jika ada kenaikan harga, tidak signifikan mengurangi permintaan karena merupakan kebutuhan dasar.

“Alih-alih menyelesaikan masalah markup, pembatasan distribusi justru berisiko memunculkan pasar gelap dengan harga lebih tinggi, dan ini akan memberatkan kelompok rentan,” kata Bintang.

Ia menambahkan, kelangkaan LPG 3 kg di masyarakat mencerminkan ketidaksiapan agen resmi dalam mendistribusikan secara merata dan tepat waktu. Bintang menegaskan, pemerintah perlu memperkuat kolaborasi dengan pengecer terdaftar yang disertai pendataan digital.

“Ini dapat menjadi solusi jangka pendek untuk memastikan subsidi tepat sasaran,” ujar Bintang.

Definisi Tidak Tepat Sasaran Perlu Dievaluasi

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan saat ini banyak ketidaktepatan sasaran dalam penyaluran LPG 3 kg. Dalam penjualannya, LPG 3 kg diberikan kepada masyarakat yang bukan kalangan miskin.

“Bahkan, kalau dilihat dari data yang ketidaktepatan sasaran LPG 3 kg itu lebih besar lagi. Nah, tapi definisi tidak tepat sasaran itu juga mungkin perlu ditinjau ulang kembali,” kata Faisal. Kondisi di masyarakat sekarang yang mengalami tekanan ekonomi bukan lagi kelas miskin saja namun kelas menengah. Sedangkan kelas menengah memiliki range yang luas.

“Jadi ada kelas menengah yang mendekati rentan miskin, ada yang mendekati kelas atas. Jadi perlu didefinisikan kembali eligibility atau kelayakan masyarakat yang boleh mengakses LPG 3 kg itu,” ujar Faisal.

Tak hanya itu, Faisal juga menilai penyaluran  LPG 3 kg oleh Pertamina langsung kepada konsumen, tidak dipersiapkan dengan baik. Sebab masih banyak kalangan masyarakat yang layak atau yang semestinya mendapatkan LPG 3 kg tidak bisa mendapatkan karena infrastruktur.

Outlet yang menjualnya itu tidak cukup tersebar di berbagai macam daerah apalagi kalau di luar Pulau Jawa. Berarti ada masalah di kesiapan sistem distribusinya,” kata Faisal.