Ekonom Sebut RI Harus Waspadai Kebijakan Trump Ke Sektor Energi dan Perdagangan
Trump membuat beberapa executive order di hari pertamanya. Meskipun dampaknya tidak secara langsung ke Indonesia, tetapi ada potensi terjadi pergeseran ekonomi dan politik global.
Donald resmi menjadi Presiden Amerika Serikat (AS). Pada hari pertamanya usai dilantik dini hari tadi, Trump bertekad segera memulihkan berbagai hal di pemerintahan AS, mulai dari integritas, kompetensi, hingga loyalitas.
Ia juga berencana menandatangani sekitar 100 perintah eksekutif. “Dengan langkah-langkah ini, kami akan memulai pemulihan total Amerika dan revolusi akal sehat,” kata Trump dalam pidatonya, dikutip Bloomberg, Senin (20/1).
Trump sangat agresif di hari pertama. Ada beberapa executive order, meskipun dampaknya tidak secara langsung ke Indonesia, tetapi ada potensi terjadi pergeseran ekonomi dan politik global.
Ia berencana mengenakan tarif perdagangan 25% kepada Kanada dan Meksiko mulai Februari 2024. Di sisi lain, Trump menunda pengumuman tarif perdagangan khusus ke Cina.
Presiden AS ke-47 itu juga bersumpah menarik AS dari perjanjian iklim Paris yang merupakan upaya paling penting di dunia untuk mengatasi kenaikan suhu global. Ia sempat melakukan langkah serupa pada 2017, lalu dibatalkan Presiden Joe Biden di hari pertamanya menjabat pada 2021.
Dampak ke Sektor Energi
Sejumlah ekonom melihat ada beberapa dampak yang kemungkinan terasa untuk Indonesia. Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai, Trump sudah sangat agresif pada hari pertamanya menjadi Presiden AS.
“Ada beberapa executive order, meskipun dampaknya tidak secara langsung ke Indonesia tetapi ada potensi terjadi pergeseran narasi ekonomi politik global,” kata Media kepada Katadata.co.id, Selasa (21/1).
Penarikan AS dari Perjanjian Paris dapat melemahkan solidaritas global. Khususnya upaya dunia secara global dalam menghadapi perubahan iklim. “Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap dampak kenaikan permukaan laut dan cuaca ekstrem,” ucap Media.
Media memastikan, setelah Trump kembali memerintah maka akan terjadi penurunan dukungan internasional dalam menghadapi perubahan iklim. Hal ini termasuk pendanaan iklim dan berpotensi menjadi masalah.
Aksi Trump mendeklarasikan darurat energi nasional dan ekspansi produksi bahan bakar fosil AS dapat menekan harga minyak dan gas global. “Ini akan berdampak pada penerimaan ekspor energi Indonesia sekaligus menghambat investasi dalam energi terbarukan,” ujar Media.
Pencabutan target kendaraan listrik dan standar emisi juga bisa sedikit menghambat upaya jangka panjang Indonesia. Sebab, negara ini tengah berupaya menjadi pusat manufaktur baterai kendaraan listrik di pasar global.
Untuk itu, Media mendorong pemerintah Indonesia untuk memperbaiki ketahanan domestik melalui diversifikasi ekonomi. Begitu juga dengan percepatan transisi energi dan diplomasi dagang internasional.
“Ini perlu dilakukan untuk memastikan kepentingan nasional tetap terlindungi akibat perubahan kebijakan AS,” kata Media.
Perang Dagang
Media mengungkapkan pemerintahan Trump sudah pasti akan memicu perang dagang dengan Cina. Meski langkahnya belum ditentukan dalam hari pertama pemerintahan Trump.
Perang dagang ini perlu diantisipasi Indonesia. “Kalau tidak, bisa merugikan Indonesia karena Cina adalah salah satu pasar potensial,” ucap Media. Ia meminta pemerintah segera melakukan identifikasi berdasarkan sektor dan komoditas dengan data real time.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet juga menilai kemenangan Trump bisa memicu perang dagang yang lebih luas. Sebab, Trump akan menerapkan kebijakan proteksionisme yang agresif.
“Seperti penerapan tarif impor yang ketat terutama dari Cina. Ini akan kembali memberikan dampak yang kompleks bagi perekonomian Indonesia,” kata Yusuf.
Peluang Relokasi
Direktur Eksekutif CORE, Indonesia Mohammad Faisal mengungkapkan Trump saat ini masih melakukan negosiasi dengan Cina untuk memutuskan kenaikan tarif impor. Jika negosiasi tidak berhasil dan tetap memberikan tarif tinggi kepada Cina, Indonesia bisa mengambil peluang relokasi perusahaan atau pabrik di Cina.
“Jika ada kenaikan tarif ke Cina maka akan ada dorongan pabrik di Cina keluar dari negaranya untuk menghindari tarif produk itu,” kata Faisal.
Hal ini sudah terjadi saat perang dagang AS-Cina pada periode pertama Trump. Namun, Faisal mengatakan, Indonesia tidak banyak menikmati investasi dari relokasi perusahaan-perusahaan dari Tiongkok.
Jika pada periode kedua Trump mengenakan peningkatan tarif ke Cina, maka akan berdampak positif bagi Indonesia. Indonesia juga berpeluang meningkatkan pasar ekspornya. “Indonesia bisa lebih masuk ke pasar AS apalagi banyak produk ekspor kita serupa dengan Vietnam dan Cina. Perbedaan di harga saja,” ucap Faisal.
Menurunkan Inflasi
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menekankan, Indonesia perlu mewaspadai kebijakan Trump untuk menurunkan inflasi. “Jika ini dilakukan dengan cara menaikkan suku bunga, tentunya akan menjadi tantangan bagi kita, karena biaya surat berharga negara (SBN) Indonesia pasti naik,” kata Wijayanto.
Jika upaya itu dilakukan dengan menunda atau bahkan membatalkan pengenaan tarif produk impor maka akan menjadi progress yang positif. Dengan meningkatkan tarif impor maka AS juga akan menghadapi ancaman peningkatan inflasi.