Guru Besar Hukum Agraria: Sertifikat Lahan di Atas Laut Bukan Hal Baru
Sejumlah suku di Indonesia, kata Maria Suwardjono, banyak yang membangun rumah di lahan di atas perairan di pesisir.
Guru Besar Hukum Agraria: di Atas Laut Bukan Hal Baru
Abdul Qodir/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), , menyatakan, adanya sertifikat kepemilikan baik berupa SHM (Sertifikat Hak Milik), maupun HGB (Hak Guna Bangunan) di perairan pesisir, adalah hal yang lumrah.
Hal itu diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UU PA).
"Jadi kalau sekarang kita mempertanyakan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, itu sebetulnya sudah lama sekali. Dalam Pasal 1 UU PA sudah membuka peluang itu," kata , dalam diskusi publik secara daring bertajuk 'Polemik Pemberian Hak atas Tanah di Perairan Pesisir', Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Sejumlah suku di Indonesia, kata dia, banyak yang membangun rumah di lahan di atas perairan di pesisir.
Ia mencontohkan, Suku Bajo yang kondang dengan pemukiman terapung di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Menurutnya, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat dipimpin Sofyan Djalil pada tahun 2022, menyerahkan HGB kepada Suku Bajo.
Setahun kemudian, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyerahkan HGB kepada Suku Bajo yang menghuni Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).
"Ingat semboyan nenek moyangku adalah pelaut. Banyak sekali suku-suku asli yang rumahnya terapung. Termasuk Suku Laut dan Suku Barok di Kepulauan Riau. Atau HGB untuk suku Kampung Laut yang hidup di perairan Batam. Mereka punya hak atas lahan yang ditempatinya. Jadi, hak lahan di perairan pesisir itu memang bukan hal baru," terang Prof Maria.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid menyampaikan perihal pencabutan sertifikat lahan di wilayah di Tangerang dan Bekasi, baik berbentuk SHGB maupun SHM.
“Tidak gampang, karena setiap pembatalan itu berpotensi di-challenge di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Yang penting, ending-nya semua sertifikat di luar garis pantai, kami batalkan,” kata Nusron di Jakarta, Rabu (5/2/2025).
Sejauh ini, Kementerian ATR/BPN membatalkan 50 sertifikat yang diterbitkan di wilayah Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang.
Adapun secara total di Tangerang, terdapat 263 bidang dalam bentuk SHGB dan 17 SHM.
Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks
Parlemen, Jakarta, pada Kamis (30/1/2025), Nusron juga sempat
menjelaskan, sertifikat tanah yang terkena abrasi laut, bakal
ditinjau ulang status sertifikatnya.
“Bergantung abrasinya itu bersifat permanen atau temporer,”
kata Nusron di kompleks Parlemen Senayan.
Menurut Nusron, jika tanah atau daratan yang terkena abrasi, sifatnya permanen, maka Kementerian ATR/BPN akan membatalkan status kepemilikan tersebut. Demikian pula sebaliknya.
“Kalau bersifat karena banjir sementara, ya itu kan temporer. Tapi kalau itu abrasinya permanen, ya itu kita batalkan (SHM),” kata Nusron menambahkan.
Alasan pembatalan SHM dilakukan mengingat fakta material tanah atau lahan daratan, sudah hilang terkena abrasi air laut.
“Kayak banjir jalan, sawah tenggelam kemudian hilang airnya, ya itu masih bisa,” jelas Nusron.