Menko Yusril: Pemerintah Finalisasi Nama Narapidana Penerima Amnesti Sebelum Disampaikan Prabowo

Yusril tidak menjelaskan kapan para narapidana akan menerima amnesti karena pengampunan itu merupakan keputusan dan wewenang presiden.

Menko Yusril: Pemerintah Finalisasi Nama Narapidana Penerima Amnesti Sebelum Disampaikan Prabowo

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Hukum telah mengumpulkan nama 44 ribu narapidana yang akan mendapatkan atau pengampunan hukum. Nama-nama terpilih akan diberikan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas kepada Presiden Subianto untuk ditindaklanjuti.

“Sudah dikumpulkan oleh beliau dan sedang dibahas untuk diajukan finalnya kepada presiden,” kata Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, saat ditemui di Kompleks Parlemen, pada Selasa, 11 Februari 2025.

Yusril tidak menjelaskan kapan para narapidana akan menerima amnesti karena pengampunan hukum itu merupakan keputusan dan wewenang presiden. Hal itu bisa dilakukan oleh Prabowo di awal ataupun di akhir masa jabatan. “Ini kan bukan lagi persoalan hukum, tapi persoalan kebijakan yang diambil oleh presiden.” 

Wacana pembebasan 44 ribu narapidana telah diumumkan pemerintah sejak akhir tahun lalu. Pada Jumat, 13 Desember 2024, Prabowo menggelar rapat terbatas bersama Menteri Hukum Supratman; Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra; Menteri HAM Natalius Pigai; Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo; dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.

Usai rapat terbatas, Supratman mengatakan, kurang lebih 44 ribu narapidana memenuhi kriteria untuk diusulkan memperoleh amnesti. Angka tersebut berdasarkan data Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas). Namun, jumlah tersebut memang masih dalam asesmen.

Supratman menyebut empat kriteria jenis tindak pidana yang akan mendapatkan amnesti. Pertama, perkara tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang penghinaan kepada kepala negara. Kedua, warga binaan pengidap penyakit berkepanjangan dan mengalami gangguan jiwa, serta mengidap HIV/AIDS yang perlu perawatan khusus.  ”Ketiga, kasus makar tidak bersenjata di Papua. Terakhir, kasus pengguna narkotika yang seharusnya dilakukan rehabilitasi,” katanya.

Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.