'Perundingan Jadi Perang Psikis, Anak Hingga Orang Tertua tak akan Tinggalkan Gaza'

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Juru bicara Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) di Gaza, Hazem Qassem, mengatakan bahwa pembicaraan media Israel tentang posisi pemerintah dalam perundingan gencatan senjata tahap kedua terkait pemindahan para...

'Perundingan Jadi Perang Psikis, Anak Hingga Orang Tertua tak akan Tinggalkan Gaza'

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Juru bicara Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) di Gaza, Hazem Qassem, mengatakan bahwa pembicaraan media Israel tentang posisi pemerintah dalam perundingan tahap kedua terkait pemindahan para pemimpin Hamas dari Gaza atau pelucutan senjata perlawanan merupakan bagian dari perang psikologis yang dilancarkan penjajah Zionis Israel terhadap rakyat Palestina, terutama tim perunding yang sedang bersiap untuk memulai perundingan tahap kedua.

Dalam pernyataan eksklusif kepada Aljazeera Net dikutip Selasa (11/2/2025), Qassem menambahkan bahwa penjajah Israel berusaha menutupi pelanggaran dan ketidakpatuhannya terhadap beberapa item yang telah disepakati dalam perjanjian gencatan senjata tahap pertama, dan karena itu mereka mengajukan rumusan-rumusan tersebut dan membocorkan ide-ide tersebut.

Media Israel mengatakan pada Senin (10/2/2025), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berencana untuk mempresentasikan tuntutan Israel untuk perjanjian gencatan senjata tahap kedua di untuk mendapatkan persetujuan pada pertemuan Kabinet Israel hari ini.

Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa tuntutan Israel untuk perundingan tahap kedua meliputi pemindahan kepemimpinan Hamas dari Gaza, pembubaran dan pelucutan senjata militernya (Brigade Izzuddin al-Qassam), dan pembebasan semua tahanan Israel.

Namun, juru bicara Hamas di Gaza menekankan bahwa rakyat Palestina dari anak bungsu hingga orang tua yang paling tua masih menolak untuk meninggalkan Jalur Gaza.

“Selama 470 hari agresi Israel tidak memaksa rakyat kami untuk meninggalkan Jalur Gaza, dan kepemimpinan perlawanan adalah bagian dari rakyat Palestina dan akan terus hadir di tengah-tengah rakyatnya."

Dalam pernyataannya kepada Aljazeera Net, Qassem menjelaskan bahwa posisi gerakan ini telah dan masih bergerak dalam konstanta dasar untuk mencapai kesepakatan apa pun, yaitu memastikan bahwa perang di Jalur Gaza benar-benar berakhir pada akhir proses ini, dan dalam kesepakatan pertukaran yang serius, serta penarikan tentara pendudukan dari seluruh Jalur Gaza.

Pada akhir bulan lalu, ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi kembali ke rumah mereka yang hancur di Jalur Gaza utara, 15 bulan setelah mereka dipindahkan secara paksa oleh tentara penjajah Israel, sebagai bagian dari tahap pertama perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari 2025.

Pernyataan Trump

Mengenai perubahan posisi Israel dalam negosiasi tahap kedua perjanjian gencatan senjata, juru bicara Hamas di Gaza mengatakan, "Posisi darurat Zionis yang diperbarui ini muncul setelah pernyataan tidak masuk akal Presiden Amerika Serikat Donald Trump di mana dia berbicara tentang pengusiran rakyat Palestina dari Jalur Gaza, dan oleh karena itu posisi Israel ini adalah hasil dari pengumuman Amerika ini."

BACA JUGA:

 

Qassem menambahkan, "Kami menghadapi komplikasi tambahan yang diciptakan oleh Presiden Trump dengan berbicara tentang pengusiran penduduk Jalur Gaza, dan pernyataan-pernyataan ini tentu tidak akan melayani kemungkinan kesepakatan mencapai tahap selanjutnya, dan pemerintahan Amerika Serikat memikul sebagian tanggung jawab untuk masalah ini."

Sejak menjabat sebagai presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2025, presiden Amerika Serikat telah sering berbicara tentang rencana yang berkaitan dengan Jalur Gaza, terutama tentang pemindahan penduduk Gaza ke Mesir dan Yordania, bahwa dia berkomitmen untuk membeli dan memiliki Gaza dan menegaskan bahwa dia dapat memberikan sebagian wilayah Gaza kepada negara-negara lain di Timur Tengah untuk rekonstruksi.

Loading...