Ekonom menilai deflasi jadi sinyal pelemahan daya beli masyarakat

Ekonom dan Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai, deflasi bulan Januari 2025 yang ...

Ekonom menilai deflasi jadi sinyal pelemahan daya beli masyarakat
Angka deflasi yang signifikan ini merupakan bukti nyata dari melemahnya daya beli masyarakat.

Jakarta (ANTARA) - Ekonom dan Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai, deflasi bulan Januari 2025 yang tercatat 0,76 persen (month to month/mtm) menjadi sinyal melemahnya daya beli masyarakat.

Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan deflasi ini disebabkan oleh diskon tarif listrik 50 persen bagi pelanggan rumah tangga dengan daya hingga 2.200 VA, Achmad memandang tren ini menunjukkan indikasi yang lebih serius terhadap permintaan domestik.

“Analisis lebih dalam mengungkapkan bahwa meskipun faktor ini berkontribusi pada penurunan indeks harga konsumen (IHK), angka deflasi yang signifikan ini merupakan bukti nyata dari melemahnya daya beli masyarakat,” kata Achmad, di Jakarta, Selasa.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) terus mengalami penurunan sejak pertengahan 2024, mencerminkan kehati-hatian masyarakat dalam berbelanja.

Tren inflasi tahunan yang terus melambat, dari 3,00 persen (year on year/yoy) pada April 2024 menjadi hanya 2,12 persen (yoy) pada Januari 2025, kian memperkuat indikasi lemahnya konsumsi rumah tangga.

Achmad menilai, penurunan daya beli ini bukan sekadar fluktuasi ekonomi, namun mencerminkan tantangan yang harus segera diatasi.

Data BPS menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut dari 21,5 persen pada 2019 menjadi 17,1 persen pada 2024.

Ia mengatakan bahwa hal itu berarti sekitar 10 juta individu mengalami ketidakpastian ekonomi tanpa mendapat bantuan signifikan dari pemerintah.

“Kelas menengah memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekonomi nasional. Mereka adalah konsumen utama bagi sektor barang dan jasa, dan juga merupakan kelompok yang memiliki kemampuan investasi yang cukup besar. Penurunan jumlah kelas menengah berarti berkurangnya konsumsi rumah tangga, yang secara langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya lagi.

Lebih lanjut, Achmad menuturkan lemahnya daya beli masyarakat turut berdampak pada sektor usaha, terutama ritel dan manufaktur.

Indeks penjualan ritel yang terus menurun sejak kuartal III-2024 menunjukkan bahwa konsumen semakin mengurangi pengeluarannya.

Tingginya biaya produksi akibat kenaikan harga bahan baku dan energi global, juga semakin menekan margin keuntungan usaha.

Akibatnya, beberapa usaha kecil dan menengah (UKM) terpaksa melakukan efisiensi, termasuk pengurangan tenaga kerja.

“Beberapa di antaranya terpaksa menutup usaha, sementara yang lain harus melakukan efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja. Fenomena ini menimbulkan efek domino, di mana meningkatnya angka pengangguran semakin memperburuk daya beli masyarakat,” katanya pula.

Untuk mengatasi pelemahan daya beli, Achmad menyarankan beberapa langkah strategis.

Pertama, penciptaan lapangan kerja berkualitas melalui insentif bagi industri padat karya.

Kedua, penguatan program perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi bahan pokok yang lebih tepat sasaran.

Ketiga, pengendalian harga komoditas strategis dengan memperkuat koordinasi antara Bank Indonesia dan pemerintah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID).

“Penyederhanaan regulasi dan peningkatan insentif investasi dapat menarik lebih banyak modal asing dan domestik untuk mempercepat pertumbuhan industri. Dengan demikian, penciptaan lapangan kerja baru dapat dipercepat dan daya beli masyarakat dapat diperbaiki secara berkelanjutan,” ujarnya lagi.

Baca juga:

Baca juga:

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025