Eks Kapus Krisis Kesehatan Kemenkes didakwa rugikan negara Rp319 M
Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana didakwa merugikan negara Rp319,69 ...
Jakarta (ANTARA) - Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana didakwa merugikan negara Rp319,69 miliar terkait kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 pada Kemenkes tahun 2020.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sandy Septi Murhanta Hidayat mengungkapkan dugaan kerugian negara tersebut berdasarkan laporan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Negara mengalami kerugian karena terdakwa telah memperkaya orang lain atau korporasi," ucap JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Baca juga:
Selain Budi, terdapat pula dua terdakwa lainnya yang disidangkan bersamaan lantaran diduga terlibat melakukan korupsi pada kasus yang sama, yakni Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik.
JPU menyebutkan ketiganya didakwa turut serta melakukan negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu pasang seluruhnya tanpa menggunakan surat pesanan, melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak lima juta pasang, serta menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp10 miliar untuk membayarkan 170 ribu pasang APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran.
Kemudian, ketiga terdakwa juga diduga ikut serta menerima pembayaran terhadap 1,01 juta pasang APD merek BOHO senilai Rp711,28 miliar untuk PT PPM dan PT EKI, padahal PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa sejenis di instansi pemerintah serta tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK).
PT EKI dan PT PPM juga diduga tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK sehingga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel.
Dengan demikian, JPU menilai perbuatan ketiga terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Kerugian negara terjadi akibat perbuatan para terdakwa yang memperkaya Satrio sebesar Rp59,98 miliar, Ahmad Rp224,19 miliar, PT Yoon Shin Jaya Rp25,25 miliar, serta PT GA Indonesia Rp14,62 miliar.
JPU menjelaskan perkara dimulai saat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) periode 2019-2021 Doni Monardo mengeluarkan Keputusan Nomor 9.A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia.
Keputusan tersebut menetapkan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Virus Corona terhitung dari tanggal 28 Januari 2020 sampai dengan 28 Februari 2020 dan membebankan segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat penetapan status tersebut pada Dana Siap Pakai (DSP) yang ada di BNPB.
Kemudian pada 21 Februari 2020, Menteri Kesehatan periode 2019-2020 Terawan Agus Putranto mengirimkan surat kepada Doni yang pada pokoknya memohon dukungan berupa pembiayaan, peralatan, dan logistik, yang dipergunakan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 di Indonesia.
Menindaklanjuti permohonan dalam surat tersebut, selanjutnya Sekretaris Utama BNPB periode 2019-2020 Harmensyah menyarankan agar pendanaan DSP diserahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang ditunjuk oleh Kemenkes dan disetujui oleh Doni.
Setelah itu, ditetapkan Eri Gunawan sebagai PPK pada Pusat Krisis Kesehatan dan Firda Hendra Agustino sebagai Bendahara Pengeluaran Pembantu Pusat Krisis Kesehatan pada 10 Maret 2020.
Namun, Eri mengundurkan diri sebagai PPK Pusat Krisis Kesehatan, sehingga pada 27 Maret 2020 Budi diangkat sebagai PPK dan Titik Nurhaeraty sebagai Bendahara Pengeluaran Pembantu Pusat Krisis Kesehatan.
Setelah itu dalam pertemuan di Gedung Graha BNPB, dilaksanakan rapat di mana Harmensyah menyampaikan bahwa PT EKI menagih pembayaran 170 ribu pasang APD yang yang telah didistribusikan ke BNPB dengan harga 50 dolar Amerika Serikat (AS) per pasang.
Lalu atas usulan dari peserta rapat itu, dilakukan negosiasi ulang antara Satrio dengan Harmensyah, yang akhirnya menyepakati harga APD sebesar 48,4 dolar AS per pasang, yang harga tersebut merupakan APD yang terdiri atas satu unit protective cover all dan satu unit shoes cover (tanpa kacamata pengaman).
"Harmensyah juga memerintahkan bahwa APD yang sudah dikirim oleh PT PPM harus segera dibayarkan," ucapnya.
Oleh karena itu, kata JPU, Budi menindaklanjuti perintah Harmensyah dengan menerbitkan Surat Pesanan Nomor: KK.02.01/1/460/2020 tanggal 28 Maret 2020 yang ditandatangani oleh Budi bersama-sama dengan Ahmad dan Satrio.
Padahal, saat itu Satrio belum menjabat sebagai Direktur Utama PT EKI dan PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang atau jasa sejenis di instansi pemerintah serta tidak memiliki IPAK dan belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Untuk melegalkan PT EKI seolah-olah merupakan satu-satunya pihak yang berhak mengedarkan APD merek BOHO maka pada 1 April 2020 Satrio memerintahkan kuasa hukum PT EKI, Isdar Yusuf membuat draf kontrak.
Draf itu menyatakan PT EKI merupakan penjual resmi APD merk BOHO, yang dibuat dengan tanggal mundur antara PT EKI dengan PT PPM dan PT Yoon Shin Jaya.
Draf kontrak tersebut pun diserahkan oleh Isdar kepada Satrio untuk ditandatangani oleh Satrio, Ahmad, dan Shin.
Baca juga:
Baca juga:
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025