Ibu Anak di Tasikmalaya Mengadukan Dugaan Salah Tangkap ke DPR, Mirip Kasus Vina Cirebon?
Orang tua anak di Tasikmalaya mengadukan nasib anak mereka yang diduga jadi korban salah tangkap ke Komisi III DPR.
TEMPO.CO, Tasikmalaya - Empat orang anak bersama seorang pemuda di , Jawa Barat, diduga menjadi korban . Mereka dituduh telah melakukan yang mengakibatkan korban mengalami luka bacok.
Orang tua anak bermasalah dengan hukum ini pun mengadukan nasib anak mereka ke Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 21 Januari 2025. Mereka didampingi anggota DPR Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan,
Dalam persidangan, jaksa menuntut keempat anak itu dihukum dua tahun penjara. Mereka adalah FM, 17 tahun, RS, 16 tahun, DW, 16 tahun dan RR, 15 tahun. Sedangkan pelaku dewasa atas nama Nandi, 19 tahun, tengah mengajukan sidang praperadilan dugaan salah tangkap.
Kasus pidana ini bermula dari laporan pengeroyokan pada 17 November 2024. "Perkara ini seperti kasus Cirebon jilid dua," ujar penasehat hukum para terdakwa, Nunu Mujahidin, kepada Tempo, Selasa 21 Januari 2025.
Menurut dia, kejanggalan kasus ini dapat dilihat dari berkas acara pemeriksaan (BAP) polisi. Semua terdakwa ditangkap polisi pada 30 November 2024 sekitar pukul 04.00 WIB, sebelum pemeriksaan korban. Sedangkan kedua korban, yakni M Topik, 27 tahun, diperiksa pada pukul 10.00 WIb dan korban Aji diperiksa pukul 16.00 WIB.
Dalam keterangannya, korban menyatakan tidak mengetahui siapa yang melakukan penyerangan terhadap dirinya. Dia hanya menyebutkan ciri-ciri pelaku pengeroyokan mengendarai 5 unit motor. Dua di antara pelaku membawa stik baseball dan celurit.
Dalam BAP polisi, saksi dan pelaku yang berjumlah 10 orang baru di periksa sekitar pukul 23.00 WIB. Lima orang di antaranya ditetapkan menjadi tersangka pada 1 Desember 2025 sekitar pukul 01.00 WIB.
Proses penyidikan polisi ini dianggap tidak sesuai dengan pasal 17 kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Alasannya karena hanya mengandalkan keterangan saksi tanpa bukti yang cukup. Apalagi proses penangkapan saksi dan pelaku tidak melalui proses penyelidikan dan pemanggilan terlebih dahulu. "Metode scientific crime investigation tidak diterapkan," ujar Nunu.
Selama proses pemeriksaan, para pelaku mengaku kerap mendapatkan intimidasi dan kekerasan fisik. Mereka dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. "Kata anak saya, dia sudah tidak kuat menahan siksaan dan takut mati, makanya hanya mengiyakan saja apa yang diminta polisi," ujar Sri Wigati, ibu seorang pelaku.
Tak hanya sampai disitu, kejanggalan pun berlanjut saat proses persidangan. Pada 6 Januari lalu, hakim mengabulkan eksepsi penasehat hukum dan memerintahkan jaksa untuk membebaskan anak dari tahanan. Hakim menilai dakwaan jaksa tidak cermat karena terdapat kesalahan waktu dan tempat kejadian perkara.
Namun belum satu jam menghirup udara bebas, empat anak bermasalah dengan hukum itu, kembali harus memasuki jeruji besi di Polsek Tawang, Kota Tasikmalaya. Alasannya, Jaksa telah melayangkan kembali dakwaan dan hakim mengabulkan permohonan penahanan. Bahkan surat pernyataan jaminan penangguhan penahanan yang dilayangkan anggota DPR Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, pada 8 Januari 2025, belum mendapatkan tanggapan hakim.
Dua saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan pada Senin, 20 Januari, menyatakan bahwa kasus pidana ini tidak sesuai prosedur dan harus batal demi hukum. Pernyataan itu disampaikan dosen Kriminologi Fisip Universitas Indonesia (UI), Ni Made Martini Putri dan Joko Jumadi, dosen Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mataram.
Menurut Martini, penahanan itu dinilai telah melanggar hak anak. Pada sistem peradilan pidana anak, penahanan merupakan upaya terakhir. "Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat setuju bila anak tidak harus dipenjara. Ini hasil ilmiah," ujarnya.
Selama proses peradilan, tumbuh kembang anak harus dilindungi negara. Penahanan di jeruji besi dapat membuat stigma buruk. Anak akan merasa bahwa ia tidak mendapatkan keadilan. "Penegak hukum yang menangani kasus anak harus yang telah mengikuti pelatihan agar tahu perspektif anak," ujar Martini.
Proses peradilan yang dilakukan selama ini pun dinilai tidak sesuai dengan Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Dugaan pelanggaran itu diantaranya pemeriksaan anak tidak didampingi pembimbing kemasyarakatan Bapas dan tempat penahanan anak yang dilakukan di penjara Polsek Tawang.
Berdasarkan ketentuan, penahanan anak hanya bisa dilakukan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS). Namun bila tidak ada, bisa ditempatkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). "Tidak ada penahanan di tempat lain, bila di luar LPAS dan LPKS itu unprosedural," ujar Joko.
Kepala Kepolisian Resor Kota Tasikmalaya Ajun Komisaris Besar Mohammad Faruk Rozi mengatakan, proses penyidikan yang dilakukan bawahannya telah sesuai dengan aturan. Itu dibuktikan dengan diterimanya dokumen pelimpahan perkara ke kejaksaan negeri setempat.
Menurut dia, ada atau tidaknya pelanggaran dalam proses penyidikan ini bisa dibuktikan dalam persidangan yang tengah berlangsung saat ini. "Tunggu putusan hakim," ujarnya kepada Tempo.
Berdasarkan pantau Tempo, selama jalannya persidangan anak ini, lingkungan Pengadilan Negeri Tasikmalaya, dijaga puluhan personel polisi. Mereka menjaga pintu masuk Pengadilan dan juga ruang sidang. Tak hanya itu selama sidang berlangsung, teman korban yang tergabung dalam Tarung Derajat terlihat berkumpul area sudut pengadilan yang tak jauh dari ruang sidang. Pilihan Editor: