LPSK Beri Pendampingan untuk Korban Kekerasan Seksual I Wayan Agus
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban beri pendampingan kepada 9 saksi dan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh I Wayan Agus Suartama.
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberi pendampingan kepada sembilan saksi dan korban I Wayan Agus Suartama, pria penyandang difabel. Adapun bentuk perlidungan dari LPSK mencakup pemenuhan hak prosedural, seperti pendampingan dalam persidangan serta layanan medis dan psikologis. "Layanan perlindungan dilakukan LPSK bekerja sama dengan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kejaksaan Negeri Mataram," kata Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati dalam keterangan resminya, Kamis, 6 Februari 2025.
Sri mengatakan, perlindungan sembilan saksi dan korban itu sudah diputuskan sejak 23 Januari 2025. Tujuannya agar para korban siap memberikan keterangan di hadapan majelis hakim dan mengakomodasi permintaan korban agar mereka tidak berhadapan langsung dengan terdakwa, sesuai dengan ketentuan KUHPidana dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. "Pentingnya perlindungan bagi korban kekerasan seksual untuk memastikan keadilan," kata Sri.
Tidak ada hak istimewa atau kekebalan hukum bagi pelaku kekerasan seksual, meskipun pelaku adalah penyandang disabilitas. Menurut Sri, penanganan kasus kekerasan seksual harus berpusat pada pengalaman korban. "Oleh karena itu, meskipun secara kasat mata pelaku dianggap tidak memungkinkan untuk melakukan tindak pidana, fakta yang disampaikan korban tetap harus didengar untuk memastikan kebenaran," katanya.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengatur hak penyandang disabilitas dalam memperoleh keadilan, termasuk dalam kapasitas mereka sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Negara wajib menyediakan akomodasi yang layak dalam proses peradilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak dalam Proses Peradilan.
"Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual melibatkan pendampingan hukum dan dukungan psikologis yang sangat penting. Kami memastikan korban siap memberikan keterangan tanpa rasa takut atau malu agar hak-hak mereka dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya," katanya.
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya restitusi bagi korban kekerasan seksual. Menurutnya, Undang-Undang TPKS telah menegaskan bahwa restitusi adalah hak korban. "Restitusi bukanlah sesuatu yang bersifat transaksional, melainkan hak korban yang menjadi tanggung jawab pelaku," tegasnya.
Dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual, korban memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh pelaku, yakni kebenaran, keadilan dengan pelaku mendapatkan sanksi, dan pemulihan korban mendapat hak hidupnya kembali atas hak dan sosialnya.
Selain pendampingan hukum, korban kekerasan seksual juga berhak atas bantuan medis, psikologis, psikososial, dan restitusi sebagai ganti kerugian dari pelaku. "LPSK terus mendorong agar hak-hak korban dalam memperoleh restitusi dapat terpenuhi," katanya.