'Ormas Keagamaan Harus Punya Visi-Misi dan Tujuan yang Jelas'

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Indonesia sebagai negara dengan keberagaman etnis, budaya, dan agama, memiliki tantangan besar dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Salah satu tantangan tersebut adalah berkembangnya paham sektarian yang...

'Ormas Keagamaan Harus Punya Visi-Misi dan Tujuan yang Jelas'

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Indonesia sebagai negara dengan keberagaman etnis, budaya, dan agama, memiliki tantangan besar dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Salah satu tantangan tersebut adalah berkembangnya paham sektarian yang bisa memecah belah masyarakat. Paham sektarian sering kali muncul akibat sifat keegoan, dan ketidaktoleranan terhadap perbedaan, yang dapat berujung pada konflik dan kekerasan. 

Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah dan organisasi masyarakat (ormas) sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial dan mengedepankan nilai-nilai keberagaman serta toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.

Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hamim Ilyas, menyoroti konflik yang terjadi antar organisasi masyarakat yang kerap muncul belakangan ini. Menurutnya organisasi masyarakat maupun organisasi keagamaan harus memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, sehingga memiliki kaderisasi dan pembinaan di dalam internal anggotanya.

 “Organisasi yang benar untuk mencapai tujuan itu ada pengkaderan, ada pembinaan anggota, itu dilakukannya sehingga organisasi itu terus berlanjut,” ujar Hamim di Yogyakarta, Rabu (22/1/2025).

Selain itu, menurut Hamim, penting bagi pemerintah untuk mengedukasi organisasi keagamaan tentang moderasi beragama dalam mendukung hidup berdampingan dalam kebhinekaan, terutama membangun sumber daya manusia yang moderat dan inklusif. Contohnya dengan mempelajari agama secara komprehensif dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman, sehingga perbedaan (khilafiyah) tidak dipandang sebagai konflik melainkan sebagai rahmat. 

“Karena biasanya pemimpin-pemimpin ormasnya itu belajarnya hanya agama saja, ketika belajar agama, tidak paham kehidupan sekarang,” ungkap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tersebut.

“Sebetulnya nggak bisa Alquran dan Hadis dipahami secara tekstual, seharusnya dipahami secara utuh, harus dipahami tujuan risalah Islam itu apa," kata Hamim menambahkan.

Ia mengatakan boleh saja meyakini suatu hal adalah kebenaran, namun jangan menganggap suatu hal itu adalah kebenaran mutlak, karena setiap orang memiliki pembenaran dalam versinya. Sikap merasa paling benar inilah yang mudah menyebabkan konflik antar umat beragama. 

“Ketika yang dipelajari masa lalu, dan sekarang tidak relevan namun masih diyakini sebagai kebenaran mutlak, itu mungkin yang terjadi, mudah untuk membidahkan, mengkafirkan,” ucap penulis kitab Fikih Akbar: Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil’alamin itu.

Dengan adanya pembinaan, sejatinya organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan tidak hanya berperan sebagai wadah untuk kelompoknya saja, namun juga bisa berkembang untuk bisa bermanfaat antar sesama tidak terjebak dalam perdebatan yang mengakibatkan konflik. Misalnya dengan menyukseskan program pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa melalui pengkaderan anggota yang anti korupsi, dan memiliki kompetensi di bidangnya. 

“Kalau misalnya itu potensinya itu di bidang kesehatan terjun di bidang kesehatan, kalau kemudian potensinya itu di bidang sosial kemunusiaan, ya terjun di bidang itu,” kata Hamim. Ia pun berharap dengan wawasan kebangsaan yang kuat dan pemahaman moderasi beragama luas, kolaborasi pemerintah dengan organisasi masyarakat mampu mewujudkan masyarakat Indonesia yang beradab, aman dan damai.