Tax Amnesty Jilid III Tuai Kritik, Pengemplang Pajak Orang Kaya Bisa Meningkat
Pemerintah dan DPR berencana melaksanakan program Tax Amnesty jilid III yang masuk dalam Prolegnas RUU Prioritas 2025, namun ekonom khawatir kebijakan ini dapat menurunkan kepatuhan pajak.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan melaksanakan program pengampunan atau tax amnesty jilid III. Rencana itu terungkap dari hasil rapat Panja Program Legislasi Nasional RUU Prioritas yang digelar Baleg DPR, pada Senin (18/11).
Berdasakan hasil rapat tersebut, program pengampunan pajak ini ternyata masuk daftar draft usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025. Namun rencana pengampunan pajak tersebut dikritik sejumlah ekonom karena bisa meningkatkan jumlah pengemplang pajak dari orang kaya dan korporasi besar.
Direktur Eksekutif Center Of Economic And Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kebijakan tax amnesty jilid III bisa menjadi keputusan yang ceroboh jika pemerintah menargetkan peningkatan penerimaan pajak.
“Rasio pajak sudah terbukti tidak naik setelah tax amnesty jilid I dan II. Apa pengaruhnya tax amnesty? Jelas tidak ada,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Selasa (19/11).
Menurut Bhima, justru pengampunan pajak yang terlalu sering dilakukan bisa membuat kepatuhan pajak orang kaya dan korporasi kakap justru turun. Hal itu membuat pengemplang pajak berasumsi setelah tax amnesty III akan ada program serupa.
“Ini moral hazard-nya besar sekali. Bukannya mengejar kepatuhan pajak dan pencocokan data aset dari hasil sebelumnya, ini malah membuat tax amnesty jilid III,” ujar Bhima.
Padahal, pengusaha sudah menikmati tarif pajak penghasilan atau PPh badan yang terus menurun. Belum lagi, pada tahun depan tarif PPh badan dari 22% akan turun ke 20%.
Di sisi lain, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% juga akan menciptakan pelemahan daya beli kelas menengah ke bawah, pelaku usaha juga terpukul.
Tak hanya itu, Bhima juga melihat dampak kenaikan PPN ini bisa menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal baik, di sektor ritel dan industri pengolahan. “Di mana letak keadilan pajaknya?” kata Bhima.
Mengincar Wajib Pajak di Luar Negeri
Sebelum menjadi Prolegnas Prioritas, usulan tax amnesty jilid III perlu disepakati dulu oleh pemerintah. Sebab, Prolegnas perlu disepakati bersama antara DPR dengan pemerintah.
Pengamat Perpajakan Ronny Bako menyoroti substansi dari target pengampunan pajak juga penting diputuskan. “Cuma sekarang yang harus diperhatikan itu bagian pengampunan pajak. Karena satu sisi kan sudah ada rencana pemerintah tetapkan Core Tax,” kata Ronny.
Core Tax Administration System atau Core Tax yang tengah disiapkan pemerintah untuk membenahi basis data perpajakan. Rencananya, Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) ini akan meluncur pada 2025.
Menurut Ronny, penerapan Coretax bersamaan dengan tax amnesty justru tidak sejalan. “Dengan adanya Coretax ini, pemerintah bisa mengetahui apa saja transaksi oleh orang dari sistem Coretax. Jadi sistem Coretax ini tidak perlu ada pengampunan pajak seharusnya,” ujar Ronny.
Melalui sistem Coretax, pemerintah bisa mengetahui potensi pajak termasuk dari underground economy. Ini merupakan kegiatan ekonomi ini mencakup aktivitas ilegal maupun informal yang tidak tercatat dalam produk domestik bruto (PDB) seperti judi daring, tambang ilegal, penangkapan ikan ilegal, hingga bisnis tanpa cukai
Ronny menyarankan, agar pengampunan pajak bisa dilakukan terhadap individu yang memiliki aset di luar negeri. Sebab, sistem Coretex tidak bisa menjangkau aktivitas ekonomi seseorang yang ada di luar negeri.
“Yang belum bisa diketahui dari wajib pajak yang punya aset dan menaruh uang di luar negeri, atau dia punya perusahaan di luar negeri. Itu mungkin yang bisa diampuni dan datanya akhirnya masuk,” kata Ronny.