Mayoritas Warga Jakarta Bersedia Bayar Rp12.000 untuk Bensin Euro 4

Bahan Bakar Euro 4 mensyaratkan kadar sulfur di bahan bakar maksimal 50 ppm yang dianggap aman untuk polusi udara.

Mayoritas Warga Jakarta Bersedia Bayar Rp12.000 untuk Bensin Euro 4

Survey Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebut 74%  warga Jakarta setuju untuk membayar Rp12.000 per liter untuk bensin berkualitas berstandar Euro-4 dan Rp8.700 untuk diesel berstandar sama. 

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan sekitar 56% berharap implementasi Euro 4 diterapkan bertahap, sementara 20% lainnya setuju untuk dilaksanakan sesegera mungkin. Survei ini dilaksanakan terhadap 394 responden pada Desember 2024. Sekitar 61,4% responden memiliki rata-rata pendapatan bulanan Rp 2–5 juta dan 48,5% bekerja pada sektor informal. Kendati mayoritas setuju, sekitar 50,8% responden meminta pemerintah melakukan sosialisasi Euro-4. Sebanyak 23,1% juga masih berharap ada subsidi harga kendaraan untuk mendukung kebijakan tersebut. 

Euro-4 sendiri adalah standar kandungan maksimal sulfur untuk bensin dan diesel sebesar 50 ppm. Saat ini, Indonesia sudah menggunakan standar Euro 4 untuk mobil berat dan mobil penumpang, namun sepeda motor masih menggunakan standar Euro 3. Artinya, kandungan sulfur maksimal di bensin senilai 150 ppm sementara diesel 350 ppm.

“Saat ini hanya ada tiga jenis BBM yang memenuhi standar Euro-4 dari delapan pilihan di pasaran,” kata Faisal dalam workshop media yang dilaksanakan Katadata Green dan Indonesian Data Journalism Network di Jakarta, Selasa (11/2).  

Pertama, BBM diesel Pertadex 53 dengan spesifikasi maksimal sulfur 50 ppm. Dari jenis bensin, ada Pertamax Green 95 dan Pertamax Turbo 98. Sayangnya, penggunaan tiga jenis BBM ini masih sekitar 0% bila dibandingkan dengan seluruh jenis BBM. Dari jenis diesel, penggunaan paling banyak adalah Biosolar 48 subsidi dengan volume 17,3 juta kiloliter atau setara dengan 26% konsumsi nasional. Biosolar 48 memiliki tingkat sulfur 2.500 ppm, jauh dari standar Euro 4. Dari jenis bensin, penggunaan paling banyak adalah pertalite 90 subsidi dengan konsumsi 30,2 juta kiloliter atau setara 45%. 

“Jauh sekali gap-nya untuk mencapai Euro 4. Standar sudah ditetapkan, tapi untuk realisasi masih sangat jauh melihat kondisi sekarang,” ujar Faisal. 

Faisal menjelaskan pemerintah perlu mengeluarkan duit lebih untuk subsidi, agar standar Euro-4 selaku bahan bakar yang lebih minim emisi bisa diterapkan. CORE menawarkan tiga skenario perhitungan: pemerintah menanggung 100% dengan menaikkan anggaran subsidi, membebankan 100% kepada masyarakat, atau membatasi subsidi bagi sebagian jenis kendaraan. 

Dari skenario pertama, pemerintah harus mengeluarkan duit anggaran sebesar Rp 106 triliun hingga Rp 530 triliun. Rentang ini disesuaikan dengan jumlah kenaikan harga BBM per liter. Bila kenaikan Rp 500 per liter, maka secara kumulatif hingga 2028 pemerintah butuh mengeluarkan duit Rp 106 triliun. Bila kenaikan Rp 2.000 per liter, pemerintah harus mengeluarkan Rp 423,8 triliun, dan bila kenaikan Rp 2.500, pemerintah harus mengeluarkan duit Rp 529,8 triliun untuk anggaran subsidi. 

“Angka Rp 2.500 ini juga sudah sesuai dengan kesediaan responden untuk membayar BBM dengan standar Euro-4 dalam survei sebelumnya,” ujar Faisal. 

Dari skenario kedua, pemerintah tidak perlu meningkatkan anggaran subsidi namun akan ada peningkatan inflasi dari 0,2% hingga 1%. Harga pertalite subsidi bakal naik dari Rp 10 ribu menjadi Rp 10.500 hingga Rp 12.500, sementara biosolar meningkat dari Rp 6.800 menjadi Rp 7.300 hingga Rp 9.300. 

Skenario ketiga yakni membatasi subsidi pertalite bagi 80% kendaraan dan biosolar 85%. Skenario ini bakal meningkatkan inflasi 0,2%, namun bisa menghemat Rp 21,6 triliun hingga Rp 107,9 triliun. 

“Kenaikan harga atau inflasi tertinggi terjadi di bulan pertama setelah kebijakan, yaitu 0,26%. Tapi, kenaikan ini cuma dirasakan sebagian kecil masyarakat, yaitu mereka yang tidak bisa membeli BBM subsidi lagi,” tutur Faisal.

CORE mencatat pembakaran BBM terutama transportasi darat berpengaruh besar terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan alias KLHK pada 2024, transportasi darat menyumbang sekitar 20,7% dari total emisi sektor energi.