Tata kelola sawit perlu diikuti kepastian hukum dan jaminan investasi
Kebijakan Presiden RI Prabowo Subianto membenahi tata kelola sawit dinilai perlu diikuti kepastian hukum dan ...
![Tata kelola sawit perlu diikuti kepastian hukum dan jaminan investasi](https://img.antaranews.com/cache/1200x800/2025/02/11/1000501331.jpg)
Jika ingin membangun pangan, energi, Indonesia harus urus sawitnya. Sangat mungkin dilaksanakan perluasan sawit. Ini tidak ada hubungannya dengan deforestasi,
Jakarta (ANTARA) - Kebijakan Presiden RI Prabowo Subianto membenahi tata kelola sawit dinilai perlu diikuti kepastian hukum dan konsistensi regulasi, hal itu sangat penting dalam upaya meningkatkan hilirisasi dan pertumbuhan ekonomi delapan persen.
Oleh karena itu, Guru Besar IPB University Prof. DR Budi Mulyanto mengatakan, gagasan Prabowo mengenai swasembada energi dan perluasan area Perkebunan sawit perlu mendapat dukungan dari semua pihak, sebab sawit merupakan mesin ekonomi dan juga penyerap karbon yang baik.
“Jika ingin membangun pangan, energi, Indonesia harus urus sawitnya. Sangat mungkin dilaksanakan perluasan sawit. Ini tidak ada hubungannya dengan deforestasi,” ujar Budi di Jakarta, Rabu.
Alasan lain, tambahnya, masih banyak lahan marjinal yang tidak mendukung biodiversiti dan juga belum digarap dengan baik untuk memberikan nilai tambah ekonomi yang mana saat ini luasnya mencapai 31,8 juta hektare
Perluasan sawit, lanjutnya masih dimungkinkan karena banyak lahan marjinal yang belum digunakan maksimal dan sangat potensial, sangat mungkin dari sisi strategis dan regulasi.
Budi yang juga Kepala Pusat Studi Sawit IPB itu juga menyoroti area hutan Indonesia masih sangat luas dengan persentase 51,7 persen, namun lahan pertanian hanya 31 persen. Untuk pangan lebih kecil lagi yaitu hanya 0,088 persen.
"Hal itu tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang tergolong tinggi," katanya dalam diskusi Majalah Sawit Indonesia "100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran: Industri Sawit Dibawa Kemana?" .
Sementara itu, pakar hukum pertanahan Dr. Sadino mengatakan, upaya menambah luas lahan sawit sulit dilakukan karena terkendala Inpres Nomor 5 tahun 2019.
"Kalau mau disegerakan untuk penambahan luas sawit, Inpres 5/2019 harus ditinjau ulang atau dicabut. Kalau tidak ditinjau kembali tidak akan ada penambahan yang tadi. Ini menjadi catatan,” ujarnya.
Selain itu, ada juga PP Nomor 36 tahun 2024, soal perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk lahan yang menyebabkan tidak ada investasi yang layak dalam pertanahan di Indonesia.
Dalam PP, tambahnya, tanah tidak lagi insentif, tapi harus dibayar di awal, Rp75 juta per ha bila menggunakan lahan yang dikategorikan kawasan hutan. Kemudian ada biaya pelepasan kawasan hutan harus bayar Rp19 juta per ha. Dan jika terlambat memenuhi pelepasan kawasan hutan dendanya Rp82 juta per ha.
Sadino mengungkapkan PNBP tersebut juga berlaku juga untuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Dia pun menilai PP tersebut sangat berpotensi merugikan investor
Sementara itu,Peneliti INDEF Tauhid Ahmad menyebut bahwa sawit menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan komoditas yang memberikan efek rambatan yang paling tinggi dibanding komoditas lain.
Dia merinci, dalam investasi sawit rata-rata surplus usahanya mencapai 66 persen baik di hulu maupun hilirnya.
Menurut dia, pekerjaan rumah Prabowo di awal-awal pemerintahannya dihadapkan pada kondisi produksi sawit dan ekspor yang turun maka perlu upaya menggenjot sisi produksi mengingat trend kebutuhan biodiesel semakin meningkat.
"Ke depan industri minyak sawit akan menjadi tumpuan hilirisasi meskipun diperlukan tambahan perluasan lahan," katanya.
Senada, Pengamat Industri Hilir Sawit Sahat Sinaga menegaskan bahwa Indonesia perlu meningkatkan nilai tambah sawit dari yang harganya saat ini hanya 800-900 dolar AS menjadi 3.000 dolar AS.
"Kuncinya adalah hulunya diperbaiki dulu. Ditingkatkan produksi sawit dari 52,4 juta ton ke 70,5 juta ton tahun 2029. Lalu tuntaskan penyelesaian kebun petani masuk “hutan” secepat-nya, dan terbitkan sertifikasi lahan-lahan petani," katanya.
Ketua Pelaksana Diskusi Qayuum Amri menyebutkan, pernyataan Presiden Prabowo yang menegaskan sawit sebagai aset strategis negara sangat melegakan pelaku industri sawit.
Namun demikian, lanjutnya, industri sawit membutuhkan kepastian hukum dan jaminan keamanan di kebun.
Pewarta: Subagyo
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025