Apakah Nazi Menjarah Harta Karun Guelph?

Pertanyaan ini kembali muncul saat ditemukannya dokumen-dokumen baru yang mendukung dugaan bahwa harta tersebut adalah hasil jarahan…

Apakah Nazi Menjarah Harta Karun Guelph?

Relikui lengan, salib, potret orang-orang suci - yang diukir dengan halus, terbuat dari emas dan perak, dihiasi dengan mutiara, kristal batu, dan gading adalah Harta Karun Guelph. Harta karun yang terdiri dari 44 karya seni ini merupakan harta karun gereja terpenting dari abad pertengahan, yang dimiliki Keluarga Guelph, keluarga kerajaan tertua di Eropa. Harta karun keluarga Guelph bisa bernilai ratusan juta euro. Kini harta karun tersebut, dapat dilihat di Museum Gemäldegalerie, Berlin. Lantas, apakah Yayasan Warisan Budaya Prusia Stiftung Preußischer Kulturbesitz (SPK), yang menyimpannya, adalah pemilik yang sah atau apakah itu karya seni hasil jarahan Nazi, hal ini masih menjadi pertanyaan.

Kasus ini sudah lama terjadi: selama era Nazi (1933-1945), Harta Karun Guelph dijual kepada negara Prusia oleh konsorsium pedagang seni Yahudi Frankfurt yang memperolehnya dari Rumah Kerajaan di tahun 1929. Setelah Perang Dunia Kedua, harta karun ini menjadi milik Yayasan Warisan Budaya Prusia (SPK). Sepuluh tahun yang lalu, Dewan Penasihat Limbach memutuskan bahwa Harta Karun Guelph bukanlah karya seni hasil rampasan. Panel para ahli tidak menemukan bukti bahwa penjualan karya seni saat itu adalah suatu paksaan dari pihak Nazi. Gugatan yang diajukan oleh ahli waris harta karun tersebut ditolak oleh pengadilan AS tahun 2023.

Tarik ulur masalah hukum Harta Karun Guelph

Para ahli waris keturunan Yahudi telah mengklaim ganti rugi sejak 2008. Tarik ulur masalah hukum ini pun dimulai. Yayasan Prusia memperkirakan nilai harta karun tersebut sebesar 100 juta Euro, sedangkan ahli waris mengklaim hingga 260 juta euro. Dokumen yang ditemukan di Arsip Negara Bagian Hessen Jerman, tahun 2022, menunjukkan bahwa penjualan Harta Karun Guelph tidak dilakukan secara sukarela seperti yang diasumsikan sebelumnya.

Penjualan di bawah paksaan?

Menurut laporan tersebut, Alice Koch - seorang yahudi yang juga mewarisi seperempat harta tersebut - dibayar sebesar 1.115.000 Reichsmark pada tahun 1935, tetapi jumlah tersebut kemudian dipotong lagi pajak khusus emigrasi "Reichsfluchtsteuer" yang ditetapkan pemerintah Nazi saat itu.

"Reichsfluchtsteuer adalah skema untuk menyedot aset warga Yahudi yang ingin beremigrasi,” kata pengacara para korban di Berlin, Jörg Roßbach, kepada lembaga penyiaran RBB (Rundfunk Berlin-Brandenburg). "Tanpa pembayaran pajak Reichsfluchtsteuer, tidak ada sertifikat pembayaran pajak; tanpa sertifikat pembayaran pajak, mereka tidak mendapat izin keluar Jerman.”

Sebuah dokumen yang sebelumnya tidak diketahui menunjukkan Alice Koch menerima surat ketetapan pajak penerbangan seharga lebih dari satu juta Reichsmark. Empat hari setelah menerima surat pajak tersebut Alice membayarnya sehingga ia mendapatkan surat keterangan bebas pajak dan dapat meninggalkan Jerman, melarikan diri dari Nazi.

Akankah kasus ini sekarang dibuka kembali?

Akankah dokumen ini menjadi titik balik dalam kasus Harta Karun Guelph? Tidak juga: komisi barang seni jarahan Raubkunst-Kommission hanya bisa membuka kembali kasus ini jika Yayasan Warisan Budaya Prusia (SPK) menyetujuinya. Setelah sampan ragu, Yayasan ini nampak siap. "SPK akan menyetujui rujukan,” kata yayasan tersebut dalam sebuah pernyataan, ”asalkan persyaratannya diklarifikasi mengikuti prosedur.” Untuk melakukannya, SPK harus menghubungi komisi dan pengacara keturunan Alice Koch untuk memperjelas isu-isu yang ada. Di sisi lain, ketua komisi, pengacara Hans-Jürgen Papier, ingin mempercepat proses ini: "SPK (...) berkewajiban untuk menyetujui rujukan ke komisi tanpa penundaan. Pemeriksaan penerimaan adalah tanggung jawab penuh Komisi.”

Meskipun belum ada undang-undang restitusi di Jerman, negara ini berkomitmen terhadap prinsip-prinsip Deklarasi Washington 1998. Dimana deklarasi menyatakan solusi yang adil dan layak harus diberikan untuk karya seni yang dijarah oleh Nazi. Sejauh ini, hal tersebut merupakan tugas dari Komisi Limbach, yang dinamai sesuai dengan nama ketua pertamanya, almarhumah hakim konstitusi, Jutta Limbach. Di masa depan, pengadilan arbitrase juga dapat diminta oleh salah satu pihak yang bersengketa, akan memutuskan kasus-kasus yang disengketakan.