IVM jadi teknologi baru untuk solusi tantangan kesuburan 

Dokter spesialis obgyn subspesialisasi fertilitas endokrinologi reproduksi Dr. Malvin Emeraldi, SpOG, Subsp.FER(K) ...

IVM jadi teknologi baru untuk solusi tantangan kesuburan 

Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis obgyn subspesialisasi fertilitas endokrinologi reproduksi Dr. Malvin Emeraldi, SpOG, Subsp.FER(K) mengatakan teknologi program hamil dengan In Vitro Maturation (IVM) jadi pilihan baru untuk mengatasi masalah tantangan kesuburan bagi pasangan.

IVM atau In Vitro Maturation adalah teknologi reproduksi berbantu yang memungkinkan pematangan sel telur dilakukan di laboratorium, bukan di dalam tubuh. Prosedur ini dilakukan dengan mengambil oosit (sel telur) yang belum matang dari ovarium, kemudian mematangkannya di laboratorium hingga siap untuk dibuahi.

Dalam keterangan pers yang diterima, Senin, Malvin mengatakan berbeda dengan In Vitro Fertilization (IVF), IVM tak memerlukan stimulasi hormon ovarium secara intensif. Dibandingkan IVF, risiko efek samping IVM seperti OHSS (Ovarian Hyperstimulation Syndrome) relatif lebih rendah dan ketidaknyamanan pasca-pengambilan oosit juga relatif ringan.

Baca juga:

"IVM juga menjadi solusi ideal untuk pasien dengan risiko tinggi OHSS atau respons berlebihan terhadap obat-obatan yang merangsang produksi sel telur di ovarium, seperti wanita dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS)," kata dokter lulusan Universitas Indonesia ini.

In Vitro Maturation (IVM) dan In Vitro Fertilization (IVF) sama-sama merupakan prosedur bayi tabung, namun keduanya memiliki perbedaan penting dalam hal penggunaan hormon, risiko kesehatan, biaya, serta kenyamanan bagi pasien.

Pada IVM, rangsangan hormon ovarium hanya sedikit atau bahkan tidak digunakan sama sekali, sehingga menurunkan risiko sindrom hiperstimulasi ovarium (OHSS). Hal ini berbeda dengan IVF yang membutuhkan stimulasi hormon lebih intensif, sehingga risikonya lebih tinggi, terutama pada pasien dengan PCOS.

Baca juga:

Dari segi biaya, IVM biasanya lebih terjangkau karena minimnya obat hormon yang diperlukan, sedangkan IVF cenderung lebih tinggi biayanya. Selain itu, pasien yang menjalani IVM hanya membutuhkan sedikit suntikan hormon dan kunjungan medis, sehingga prosesnya menjadi lebih nyaman.

"Secara umum, IVM direkomendasikan untuk pasien dengan risiko tinggi OHSS, PCOS, atau mereka yang resistensi terhadap hormon. Sementara itu, IVF lebih cocok untuk berbagai kasus infertilitas dengan ovarium responsif dan memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi, terutama pada wanita di bawah 35 tahun," katanya.

Meski begitu, tingkat keberhasilan IVM umumnya lebih rendah sekitar 20–35 persen dibandingkan IVF konvensional yang memiliki angka keberhasilan 40–50 persen.

Baca juga:

Ia mengatakan teknologi IVM terus berkembang berkat metode seperti CAPA-IVM, yang dapat meningkatkan keberhasilan pematangan sel telur, kualitas embrio, dan kehamilan klinis.

Dengan berbagai inovasi dan teknologi terbaru, IVM menjadi pilihan yang menjanjikan untuk membantu mewujudkan impian memiliki buah hati.

IVM mulai diteliti pada 1930-an oleh Gregory Pincus yang mempelajari pematangan oosit mamalia di luar tubuh, lalu berkembang pesat penerapannya pada manusia sejak akhir 1980-an hingga awal 1990-an.

Kelahiran bayi pertama melalui IVM dilaporkan oleh Cha et al terjadi di Korea Selatan pada 1991. Saat ini, teknologi IVM sudah mulai diaplikasikan oleh Morula IVF Indonesia.

Baca juga:

Baca juga:

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025