Menata ketenagakerjaan di era digital

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Agustus 2024 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia sebesar 4,91 ...

Menata ketenagakerjaan di era digital

Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Agustus 2024 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia sebesar 4,91 persen, turun 0,41 persen dibanding Agustus 2023.

Meskipun ini merupakan capaian yang positif, kita tidak boleh mengabaikan sejumlah tantangan besar di sektor ketenagakerjaan yang masih mengintai, terutama bagi generasi muda, perempuan, dan pekerja informal. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius jika kita ingin mencapai kemajuan yang lebih inklusif di pasar tenaga kerja.

Salah satu tantangan utama adalah tingginya pengangguran di kalangan anak muda. Data menunjukkan bahwa TPT pada kelompok usia 15–24 tahun mencapai 17,32 persen pada Agustus 2024, ini merupakan yang tertinggi dibanding TPT pada kelompok umur lainnya.

Masalah ini sangat kompleks dan sebagian besar disebabkan oleh kesenjangan keterampilan antara apa yang diajarkan di institusi pendidikan dengan tuntutan pasar kerja yang terus berubah.

Transformasi digital yang semakin cepat menambah kesenjangan tersebut, karena sektor teknologi dan komunikasi yang berkembang pesat tidak dapat menyerap tenaga kerja muda yang belum memiliki keterampilan digital memadai.

Penting bagi pemerintah untuk segera memperkuat program pendidikan dan pelatihan yang lebih berfokus pada keterampilan digital dan teknologi. Kolaborasi antara sektor pendidikan dan industri menjadi semakin penting, terutama dalam memastikan bahwa lulusan baru memiliki keterampilan yang relevan untuk bersaing di pasar kerja. Pelatihan kerja berbasis teknologi juga harus diperluas, tidak hanya bagi angkatan kerja baru, tetapi juga bagi pekerja yang saat ini terancam kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi.

Selain tantangan di kalangan muda, ketidaksetaraan gender juga menjadi sorotan dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia.

Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan pada Agustus 2024 hanya sebesar 56,42 persen, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 84,66 persen. Tidak hanya itu, perempuan juga menghadapi ketimpangan upah.

Rata-rata upah buruh perempuan tercatat sebesar Rp2,77 juta per bulan, jauh di bawah rata-rata upah buruh laki-laki yang mencapai Rp3,54 juta. Ketimpangan ini semakin jelas ketika dilihat di berbagai sektor pekerjaan, di mana perempuan sering kali menerima upah yang lebih rendah meskipun bekerja di posisi atau industri yang sama.

Ketimpangan gender dalam pasar tenaga kerja tidak dapat dibiarkan terus berlanjut. Pemerintah perlu lebih tegas dalam menerapkan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, terutama dalam memberikan akses yang lebih luas bagi perempuan untuk memasuki sektor-sektor yang selama ini didominasi oleh laki-laki, seperti teknologi dan manajemen.

Selain itu, diperlukan kebijakan kerja yang lebih fleksibel agar perempuan, terutama mereka yang memiliki tanggung jawab ganda di rumah tangga, dapat tetap produktif tanpa harus mengorbankan kehidupan pribadi mereka.

Lebih lanjut, masalah yang perlu menjadi perhatian adalah mengenai sektor informal. Pada Agustus 2024, penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 83,83 juta orang (57,95 persen). Banyak dari mereka yang bekerja sebagai pekerja paruh waktu atau pun setengah pengangguran, tanpa akses yang memadai terhadap perlindungan sosial atau jaminan kerja.

Pekerja paruh waktu, yaitu mereka penduduk yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu, tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain, pada Agustus 2024 tercatat sebanyak 23,94 persen dari total pekerja.

Lebih lanjut, ketidakpastian kerja di sektor informal juga menjadi tantangan besar. Tren gig economy yang berkembang di era digital juga berkontribusi terhadap meningkatnya pekerja informal. Meskipun pekerjaan berbasis platform digital menawarkan fleksibilitas, banyak pekerja di sektor ini yang tidak mendapatkan jaminan ketenagakerjaan dan tetap berada dalam kondisi rentan.

Dalam menghadapi realitas ini, pemerintah harus memastikan bahwa perlindungan tenaga kerja tidak hanya terbatas pada pekerja formal. Skema jaminan sosial, seperti BPJS Ketenagakerjaan, perlu diperluas agar lebih inklusif bagi pekerja informal dan gig economy.

Selain itu, perlu ada kebijakan yang lebih inovatif, seperti subsidi kontribusi bagi pekerja berpenghasilan rendah, agar mereka mampu mengakses manfaat jaminan sosial tanpa terbebani iuran yang berat. Regulasi terkait jam kerja dan standar upah juga harus menyesuaikan dengan fleksibilitas yang dibutuhkan oleh sektor informal, tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja.

Terlepas dari tantangan yang ada, era digital juga membawa peluang besar dalam meningkatkan inklusi ketenagakerjaan. Ekonomi berbasis platform memungkinkan lebih banyak orang untuk bekerja secara fleksibel, baik melalui pekerjaan jarak jauh maupun gig economy.

Namun, manfaat ini hanya dapat dirasakan secara luas jika transformasi digital dilakukan secara inklusif. Saat ini, masih ada kesenjangan akses digital antara daerah perkotaan dan pedesaan, yang membuat pekerja di daerah tertinggal sulit bersaing di era ekonomi digital.

Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur digital harus menjadi prioritas agar semua daerah mendapatkan akses yang sama terhadap peluang ekonomi berbasis teknologi.

Selain itu, literasi digital perlu ditingkatkan tidak hanya bagi generasi muda, tetapi juga bagi pekerja informal dan pengusaha mikro agar mereka bisa mengoptimalkan teknologi dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing mereka. Program pelatihan yang berfokus pada keterampilan digital harus melibatkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk mereka yang sebelumnya tidak memiliki akses terhadap teknologi.

Langkah-langkah yang telah diambil pemerintah, seperti program pelatihan vokasi dan digitalisasi UMKM, memang merupakan langkah maju. Namun, upaya ini perlu lebih terintegrasi dengan strategi jangka panjang untuk menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan.

Salah satu strategi yang harus diperkuat adalah pengembangan ekonomi hijau, yang tidak hanya membuka peluang kerja baru tetapi juga membantu Indonesia dalam mencapai target keberlanjutan lingkungan.

Dengan mengembangkan sektor-sektor seperti energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan pertanian berbasis teknologi, Indonesia dapat menciptakan lapangan kerja berkualitas sekaligus menjaga keseimbangan ekologis.

Pada akhirnya, ketenagakerjaan yang inklusif hanya dapat tercapai jika kebijakan pemerintah mampu menjangkau semua lapisan masyarakat tanpa kecuali. Tantangan struktural dalam pengangguran, ketidaksetaraan gender, dan sektor informal membutuhkan solusi yang tidak sekadar parsial, tetapi juga menyeluruh dan berorientasi jangka panjang.

Dengan memperkuat ekosistem ketenagakerjaan berbasis teknologi, memperluas perlindungan bagi pekerja informal, serta mendorong keterlibatan aktif sektor swasta, Indonesia dapat membangun pasar kerja yang lebih adil dan berkelanjutan.

Ini bukan hanya tentang menciptakan pekerjaan, tetapi juga memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang setara terhadap kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi bagi perekonomian nasional.

*) Lili Retnosari merupakan Statistisi di Badan Pusat Statistik

Copyright © ANTARA 2025