Banyak Negara Belum Serahkan Target Iklim Terbaru ke PBB
REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Sebagian besar negara penghasil polusi di dunia melewatkan tenggat waktu penyerahan target iklim yang baru kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pembaruan target iklim merupakan salah satu langkah penting...
![Banyak Negara Belum Serahkan Target Iklim Terbaru ke PBB](https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/059805500-1718704881-830-556.jpg)
REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Sebagian besar negara penghasil polusi di dunia melewatkan tenggat waktu penyerahan yang baru kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pembaruan target iklim merupakan salah satu langkah penting untuk mengatasi pemanasan global.
Hampir 200 negara menandatangani Perjanjian Paris. Sebagai wujud dari komitmen itu, mereka harus menyerahkan target dan rencana pemangkasan emisi terbaru yang ditetapkan sendiri (NDC) pada Senin (10/2/2025).
Dalam itu, negara-negara menguraikan langkah-langkah untuk memangkas emisi pada tahun 2035. Akan tetapi, negara-negara berpolusi seperti Cina, India, dan Uni Eropa belum menyerahkannya.
"Masyarakat berhak untuk mengharapkan reaksi keras dari pemerintah mereka untuk menghadapi fakta pemanasan global yang sudah mencapai 1,5 derajat Celsius sepanjang tahun, tapi pada dasarnya kami tidak melihat hal yang subtansial," kata CEO institut penelitian dan ilmu pengetahuan Climate Analytics, Bill Hare.
Perjanjian Paris yang ditandatangani 2015 merupakan kesepakatan negara-negara untuk menghindari dampak terburuk perubahan iklim dengan menahan suhu bumi tidak melewati 1,5 derajat Celsius dari masa pra-industri. Langkah yang sudah diambil untuk memangkas emisi saat ini masih jauh dari yang diperlukan untuk mencapai target tersebut.
Tahun lalu, pertama kalinya suhu bumi 1,5 derajat Celsius lebih panas dari masa pra-industri sepanjang tahun. Perekonomian-perekonomian besar sudah mengumumkan baru mereka seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Brasil, Jepang, dan Kanada.
Namun, kemungkinan besar Presiden AS Donald Trump akan menarik kembali langkah-langkah yang ditetapkan pemerintahan mantan Presiden AS Joe Biden. Bulan lalu, Trump menarik AS dari Perjanjian Paris dan menahan dana untuk proyek energi bersih.
Pekan lalu, Kepala Konvensi Kerangka Kerja untuk Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) Simon Stiell mengatakan sebagian besar negara mengindikasikan akan menyerahkan NDC mereka tahun ini. "Negara-negara menanggapi ini dengan sangat serius, yang mana tidak mengejutkan mengingat rencana-rencana ini akan menjadi kunci bagaimana ledakan 2 triliun dolar AS yang dapat diamankan pemerintah-pemerintah," katanya.
Ia merujuk dana 2 triliun dolar AS investasi global pada infrastruktur dan energi bersih tahun lalu. "Jadi masuk akal butuh lebih banyak waktu untuk memastikan rencana-rencana benar-benar kelas satu," katanya.
Terlewatinya tenggat waktu ini menimbulkan kekhawatiran, tindakan-tindakan iklim akan hilang dalam agenda-agenda pemerintah. Beberapa negara memberi sinyal perubahan kebijakan iklim AS mengganggu upaya negara lain.
Bulan lalu, Kepala Kebijakan Iklim Uni Eropa Wopke Hoekstra mengatakan siklus perumusan kebijakan di blok itu tidak selaras dengan tenggat waktu PBB. Namun, rencana iklim Uni Eropa akan selesai pada Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) bulan November mendatang.
Seorang pejabat pemerintah India mengatakan negara itu belum menyelesaikan kajian yang dibutuhkan untuk merancang rencana iklim. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan Beijing akan mempublikasikan rencana iklim "dalam waktu dekat."
Adapun, Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia mengatakan sedang menunggu instruksi dari Istana Presiden untuk menyerahkan target iklimnya. Pemerintah Iran, Rusia, dan Afrika Selatan belum menanggapi permintaan komentar.
sumber : Reuters