Bukan Cuma Amerika, Tiga Negara Ini Juga Belum Meratifikasi Kesepakatan Paris

Kesepakatan Paris kini diikuti oleh 194 dari 197 negara anggota PBB, menyisakan Iran, Libya, dan Yaman.

Bukan Cuma Amerika, Tiga Negara Ini Juga Belum Meratifikasi Kesepakatan Paris

Keputusan Donald Trump menarik Amerika Serikat dari Kesepakatan Paris menambah daftar negara yang tidak terikat oleh pakta tersebut. Selain AS, tidak negara di Asia yakni Iran, Libya, dan juga tidak menjadi bagian dari Kesepakatan Paris.

Kesepakatan Paris saat ini mengikat 194 dari 197 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pakta iklim global ini bersifat sukarela sehingga tidak ada sanksi legal apapun bagi negara yang tidak mau ikut terlibat. Namun, jika sudah bergabung, anggotanya terikat oleh kewajiban tertentu seperti penerbitan Nationally Determined Contributions (NDC). 

Eritrea menjadi negara terakhir yang meratifikasi Kesepakatan Paris pada Februari 2023. Negara termuda di dunia, Sudan Selatan, bahkan juga sudah mengikatkan diri ke pakta tersebut pada Februari 2021. Indonesia sendiri sudah meratifikasi Kesepakatan Paris sejak 31 Oktober 2016.

Iran

Mantan Presiden Hassan Rouhani sebetulnya sudah pernah mendorong Iran untuk meratifikasi Kesepakatan Paris pada 2015, tetapi usulan tersebut ditolak oleh Dewan Wali yang menjadi otoritas tertinggi di negara tersebut. Yaser Jebraili, Chief of the Centre for Assessment of Implementing Macro-policies of Iran, mengatakan pada masa pemerintahan Rouhani, pasokan listrik Iran telah berkurang setengah dari kapasitas listrik pada masa pendahulunya, Mahmoud Ahmadinejad. Hal ini menyebabkan Iran sering mengalami pemadaman listrik saat Rouhani berkuasa. 

“Kebijakan ini [meratifikasi Kesepakatan Paris] sangat sensitif bagi Itan yang harus menghadapi sanksi ekonomi berat dari AS,” kata Jebraili, dilansir dari terkemuka Turki, Anadolu Ajansi. 

Iran, produsen minyak terbesar ke-4 di dunia yang menyumbang sekitar 2% emisi global, bukan tidak menyadari urgensi perubahan iklim. Utusan Khusus Iran untuk PBB, Majid Takht-Ravanchi, mengatakan sanksi dari dunia internasional telah menghambat akses Iran terhadap pendanaan dan teknologi, termasuk dalam upaya melawan perubahan iklim.

Dalam pertemuan COP26 di Glasgow pada 2021, Kepala Departemen Energi Iran, Ali Salajegheh, menyebut Iran juga terdampak perubahan iklim seperti wilayah lain di seluruh dunia. Namun, ia menyebut Iran hanya akan meratifikasi Kesepakatan Paris jika sanksi dicabut. 

Libya

Libya sudah menandatangani Kesepakatan Paris pada 2016, tetapi belum meratifikasinya. Associate Research Fellow di The Italian Institute for International Study (ISPI) Mary Fitzgerald mengatakan Libya juga belum menyampaikan komunikasi iklim apapun kepada UNFCCC. “Libya adalah satu-satunya negara yang belum melaksanakan inventori karbon,” katanya. 

Berbeda dengan Iran yang belum meratifikasi Kesepakatan Paris karena sanksi internasional, masalah yang dihadapi Libya lebih ke persoalan politik. Senior Fellow Carnegie Middle East Center, Frederic Wehrey, menyebut sejak kematian Muammar Gaddafi pada 2011, Libya dilanda konflik dan korupsi laten berkepanjangan, yang membuat perubahan iklim tidak menjadi isu prioritas.

Wehrey, lewat esay ‘Climate Vulnerability in Libya: Building Resilience Through Local Empowerment’ menyebut Libya sebetulnya menyimpan potensi besar tenaga surya dan angin, yang bahkan sudah memiliki rancangan pengembangan energi terbarukan. Namun, proyek ini terhalang akibat minimnya peran sektor privat dan resisten dari birokrasi yang mendukung monopoli oleh perusahaan negara. 

Yaman

Seperti Libya, Yaman juga sudah menandatangani Kesepakatan Paris pada 2016 tetapi belum meratifikasinya. Yaman juga belum mengkomunikasikan NDC, tetapi sudah mempublikasikan Intended NDC. Ini adalah dokumen yang harus diserahkan ke UNFCCC sebelum negara-negara sepakat bergabung dengan Kesepakatan Paris. Dalam dokumen INDC, Yaman menargetkan penurunan emisi 14% di 2030 yang dibagi menjadi 1% penurunan tanpa syarat dan 13% penurunan dengan syarat tertentu.