Tata Tertib Baru DPR Panen Kritik, Dianggap Melanggar Konstitusi Hingga Kesesatan Berpikir

Lewat aturan ini, DPR bisa mengevaluasi semua pejabat negara yang ditetapkan dalam rapat paripurna.

Tata Tertib Baru DPR Panen Kritik, Dianggap Melanggar Konstitusi Hingga Kesesatan Berpikir

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) panen kritik usai merevisi Peraturan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib).

Lewat aturan ini, DPR bisa mengevaluasi semua pejabat negara yang ditetapkan dalam rapat paripurna. Evaluasi ini juga dapat berbentuk rekomendasi pemberhentian.

Baca juga:

Dalam tahapannya, aturan ini dikebut karena pembahasan revisi di Badan Legislasi (Baleg) rampung dalam waktu kurang dari 3 jam. Seluruh fraksi partai politik di setuju dan kemudian disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa (4/2/2025).

Melanggar Konstitusi

Pakar hukum tata negara sekaligus akademisi STHI Jentera memandang langkah merevisi Peraturan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) adalah sebuah perbuatan culas.

Ia pun sempat membandingkannya dengan upaya untuk mengubah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang tercatat muncul saat anggota periode 2019 - 2024 menjabat.

Dilansir dari Kompas.com, rencana revisi UU MK yang dimaksud Bivitri ingin mengubah beberapa pokok materi yang sudah ada dalam UU MK saat ini.

Satu di antaranya soal masa jabatan hakim konstitusi dari semula maksimal 15 tahun atau hingga berumur 70 tahun dikembalikan menjadi 5 tahun. 

Untuk hakim yang sedang menjabat, dikembalikan ke lembaga pengusul untuk menentukan nasibnya melalui permintaan konfirmasi.

Selain masa jabatan, usia minimal hakim konstitusi juga dikhawatirkan hendak diubah dari 55 tahun menjadi 60 tahun.

"Ini culas. Mereka mau ubah UU MK buat mengutak-atik MK kita cegah, sekarang mau masuk dari sini (revisi )," kata Bivitri saat dihubungi Tribunnews.com, kemarin.

Ia menjelaskan proses pemilihan hakim dan komisioner masuk aturan main pemilihan, dan bukan pemberian mandat yang bisa dicabut kapan saja.

Begitu sudah dipilih, lanjutnya, maka komisioner atau hakim diatur dalam UU masing-masing misalnya UU MK atau UU KPK.

"Peraturan tidak bisa melanggar UU dan bahkan ini melanggar konstitusi karena susunan, kedudukan, fungsi lembaga-lembaga negara itu diatur dalam UUD," lanjut dia.

Lalu apa yang bisa dilakukan kekuasaan eksekutif dan yudikatif untuk menangkalnya?