Terseret Kasus Pagar Laut, Nono Sampono Pernah Tulis Disertasi tentang Reklamasi Jakarta
Dalam disertasinya, Nono Sampono menyampaikan reklamasi Jakarta adalah pilihan realistis untuk mengatasi masalah keterbatasan lahan.
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua DPD RI periode 2017-2024 diduga menjadi salah satu pimpinan di perusahaan yang mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di areal Tangerang, Banten. Dia tercatat sebagai Direktur Utama PT Cahaya Inti Sentosa, yang menguasai 20 bidang tanah di area tersebut.
Adapun sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid membeberkan Sertifikat HGB dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terbit di kawasan pagar laut Tangerang, Banten itu.
Rekam Jejak Nono di Bidang Kelautan
Sebelum namanya menjadi sorotan karena terseret polemik pagar laut di Tangerang, Banten, Nono Sampono memiliki rekam jejak panjang di bidang kelautan dan perikanan. Dia adalah purnawirawan TNI Angkatan Laut (AL) yang pernah menjabat sejumlah posisi penting, seperti Komandan Korps Marinir, Komandan Paspampres, dan Gubernur Akademi Angkatan Laut.
Selain itu, Nono juga melanjutkan pendidikannya di bidang yang berfokus pada kelautan dan perikanan. Dia merupakan lulusan sarjana Perikanan Universitas Hang Tuah Surabaya, meraih gelar master di Institut Pertanian Bogor () Jurusan Teknik Kelautan dan Perikanan, serta berhasil mendapatkan gelar doktor dari IPB untuk Bidang Ilmu Perikanan dan Kelautan.
Dalam sidang promosi doktoralnya, Nono mengangkat disertasi yang berjudul “Analisis Kebijakan Pemerintah Mengatasi Dampak Reklamasi terhadap Perikanan Pesisir.” Melansir dari Antara, pria keturunan Maluku-Madura itu mengatakan bahwa dia memiliki pandangan tersendiri soal “takdir” Jakarta sebagai kota maritim di Teluk Jakarta.
Menurut dia, ada beberapa keuntungan jika pemerintah mereklamasi Teluk Jakarta, di antaranya memperluas wilayah untuk pembangunan Jakarta Water Front City. Nantinya akan membuat laut sebagai halaman depan Jakarta. "Dan mengembalikan kejayaan Jakarta sebagai kota bandar," katanya.
Selain itu, reklamasi sebagai benteng terhadap banjir rob dari laut, menata daerah-daerah kumuh di pesisir pantai, serta dapat menjadi momentum pembenahan alur pelayaran kapal. Meski begitu, kata dia, reklamasi pantai selalu berdampak kepada ekosistem, sumber daya alam, budi daya alam, ekonomi dan sosial, termasuk aspek perikanan.
Melansir dari laman repository.ipb.ac.id, dalam abstrak disertasinya Nono menjelaskan bahwa Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan menghadapi berbagai masalah kompleks, seperti ekonomi, transportasi, sosial, dan kriminalitas, yang membutuhkan perhatian serius. Kepadatan penduduk yang terus meningkat akibat migrasi dan pertumbuhan industri, membuat ruang terbuka semakin terbatas.
Untuk mengatasi masalah kebutuhan lahan, reklamasi di Teluk Jakarta merupakan pilihan solusi realistis, sebagai bagian dari pembangunan Jakarta Water Front City. Reklamasi ini diperkirakan membawa dampak teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan perikanan. Oleh karena itu, penelitiannya dibuat bertujuan menganalisis dampak reklamasi terhadap perikanan, strategi adaptasi nelayan, dan merumuskan kebijakan pengelolaan perikanan terkait pembangunan tersebut.
Hasilnya, ditemukan bahwa kegiatan perikanan yang terdampak langsung dari kegiatan reklamasi adalah perikanan payang, dogol, bubu dan gillnet serta budidaya kerang hijau. Luas daerah penangkapan dan budidaya kerang hijau (Perna viridis) akan terdampak langsung dari kegiatan reklamasi mencapai 1.527,34 hektare.
Dampak yang paling utama akan dirasakan dari reklamasi adalah perubahan daerah penangkapan ikan, hilangnya lokasi budidaya kerang hijau, gangguan terhadap jalur perahu nelayan dan penurunan kualitas sumberdaya ikan. Adapun strategi adaptasi yang dipilih nelayan terhadap dampak reklamasi adalah tetap melakukan kegiatan perikanan (perikanan tangkap maupun budidaya) meskipun terjadi penurunan hasil tangkapan/budidaya atau harus berpindah ke lokasi yang baru.
Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.