Perpres Penertiban Kawasan Hutan Dinilai Bertentangan dengan UU

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (Perpres 5/2025) untuk mengatasi ketidakefektifan mekanisme penyelesaian kegiatan usaha di Kawasan Hutan. Perpres ini...

Perpres Penertiban Kawasan Hutan Dinilai Bertentangan dengan UU

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (Perpres 5/2025) untuk mengatasi ketidakefektifan mekanisme penyelesaian kegiatan usaha di Kawasan Hutan. Perpres ini mengubah mekanisme penyelesaian, serta membentuk satuan tugas untuk percepatan.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai perpres tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam pernyataannya ICEL, mengatakan Perpres 5/2025 bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2013 Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan PP 24 Tahun 2021 yang telah mengatur mekanisme penyelesaian kegiatan usaha yang telah terbangun di Kawasan Hutan.

Selain itu, ICEL menjelaskan, Perpres 5/2025 memperkenalkan tipologi penyelesaian yang berbeda dengan UU 18/2013 serta mekanisme "penguasaan kembali” yang berbeda dengan mekanisme penyelesaian pada PP 24/2021. Padahal, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah lebih tinggi dibandingkan Perpres.

"Apabila dinilai tidak efektif, seharusnya pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap pilihan kebijakan yang dituangkan di tingkat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah," kata dalam pernyataannya, Rabu (5/2/2025).

ICEL menjelaskan pengenalan tipologi penyelesaian baru yang tidak secara tegas membedakan waktu terbangunnya kegiatan usaha, membuka kesempatan bagi kegiatan usaha yang terbangun setelah 2 November 2020 hanya dikenakan sanksi administratif. Oleh karena itu, perlu dipastikan tipologi kegiatan usaha tanpa perizinan di bidang kehutanan walaupun telah memiliki perizinan berusaha atau kegiatan usaha yang tidak dilengkapi salah satu komponen perizinan berusaha, harus tetap dikenakan sanksi pidana sesuai pengaturan dalam UU 18/2013 sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja.

Perhatian khusus terhadap kegiatan usaha yang memiliki Perizinan Berusaha tetapi diperoleh secara melawan hukum dalam Perpres 5/2025 merupakan kesempatan untuk perbaikan tata kelola. Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL, menguraikan setidaknya terdapat tiga indikator yang dapat digunakan oleh untuk melihat apakah suatu Perizinan Berusaha diperoleh secara melawan hukum atau tidak.

"Pertama, keterkaitan penerbitan perizinan berusaha dengan kasus tindak pidana yang putusan pengadilannya telah berkekuatan hukum tetap; kedua, keterkaitan penerbitan perizinan berusaha dengan tindak pidana yang proses pemeriksaan perkaranya sedang berjalan; terakhir, penelusuran lebih lanjut atas dugaan pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha yang tidak dilengkapi komponen tertentu dan atau tidak sesuai dengan prosedur dalam peraturan perundang-undangan," kata Raynaldo.  

Berdasarkan hasil review perizinan ICEL pada tahun 2015-2018, salah satu tipologi pelanggaran perizinan perkebunan kelapa sawit adalah pelanggaran administratif dalam penerbitan perizinan yang mengindikasikan dugaan tindak pidana korupsi.

Sebagai upaya perbaikan tata kelola yang komprehensif, menurut ICEL, penting bagi Satgas untuk melakukan audit ulang terhadap kegiatan usaha di Kawasan Hutan yang telah selesai atau sedang dalam proses penyelesaian, utamanya untuk melakukan penapisan terhadap Perizinan Berusaha yang terindikasi diterbitkan secara melawan hukum.

“Dengan kedudukan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus sebagai Ketua Tim Pelaksana dalam Satgas, implementasi Perpres ini diharapkan dapat mendukung proses audit ulang demi mengintervensi proses penyelesaian terhadap perizinan berusaha yang diperoleh secara melawan hukum dan menindaklanjuti indikasi praktik-praktik korupsi perizinan,” kata Difa Shafira, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL

Menurut ICEL, walaupun Perpres 5/2025 berpotensi efektif menyasar dan mendorong penegakan hukum untuk korporasi yang beroperasi di Kawasan Hutan, mekanisme penguasaan kembali yang ditawarkan oleh Perpres 5/2025 ditambah dengan komponen instansi yang ditugaskan untuk penyelesaian berpotensi memperpanjang rentetan konflik dan kekerasan.

Pemulihan dan pengembalian fungsi kawasan hutan pun tidak menjadi fokus dalam Perpres 5/2025. Padahal, pemulihan dan pengembalian fungsi kawasan hutan menjadi komponen penting untuk memastikan bahwa proses penguasaan kembali oleh negara diikuti dengan upaya restorasi lingkungan hidup.

Menurut ICEL, pemerintah perlu transparan dan membuka data berkaitan dengan areal kawasan hutan yang ditertibkan, subjek yang melakukan pelanggaran, sanksi administratif dan pidana yang dikenakan, serta kepatuhan pelaku usaha. ”Dengan demikian, masyarakat dapat berperan dalam mengawasi proses implementasi kebijakan, menyajikan data pembanding untuk memastikan penyelesaian dilakukan melalui tipologi yang tepat, hingga mengawasi proses penegakan hukum dan kepatuhan pelaku usaha,” kata dia.

ICEL menegaskan penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada peningkatan pendapatan negara melalui denda administratif, tetapi juga harus memastikan perbaikan tata kelola, pemulihan fungsi kawasan hutan, dan penyelesaian konflik secara menyeluruh.